Thursday, December 30, 2010

11 Tanda-Tanda Kesengsaraan

1-Tamak terhadap harta benda dunia.
2-Keinginan kuat kepada nafsu syahwat dan kenikmatan dunia.
3-Gemar bercakap perkara yang tidak memberi faedah dan suka membuat fitnah.
4-Mengambil mudah solat lima waktu.
5-Bersubahat dengan orang-orang jahat.
6-Berperangai buruk.
7-Sombong dan suka membangga diri.
8-Tidak suka menolong orang lain.
9-Sedikit rasa kasih sayang terhadap orang-orang beriman.
10-Bakhil dan kedekut.
11-Lupa kepada mati.


1001 Feqh Nasihah, m/s : 15

11 Tanda-Tanda Kebahagiaan

1-Menjauhkan diri dari urusan dunia yang tidak memberi manfaat Akhirat dan suka kepada urusan Akhirat.
2-Sangat berminat membaca Al-Quran dan beribadat kepada Allah SWT.
3-Tidak bercakap dengan perkara yang tidak memberi faedah.
4-Memelihara solat 5 waktu.
5-Menjaga diri daripada perkara haram dan fitnah.
6-Bersahabat dengan mereka yang melakukan kebajikan.
7-Merendah diri dan tidak takabbur.
8-Bersifat dermawan dan bersifat mulia.
9-Mempunyai perasaan belas kasihan sesama makhluk Allah SWT.
10-Membuat jasa dan bakti kepada orang lain.
11-Sentiasa mengingati mati.


1001 Feqh Nasihah, m/s : 14

4 Perkara baik dan terlebih baik-Hadis

Nabi SAW bersabda, ada 4 perkara yang dipandang baik tetapi terlebih baik :

1- Sifat malu pada lelaki adalah baik, tetapi terbaik jika sifat tersebut terdapat pada wanita.
2- Keadilan adalah sifat yang baik pada setiap orang, tetapi sifat tersebut terlebih baik jika terdapat pada seorang pemimpin.
3- Taubat seorang yang sudah tua adalah baik, tetapi taubat seorang pemuda adalah terlebih baik.
4- Derma dari seorang jutawan adalah baik, tetapi terlebih baik jika derma adalah dari seorang yang fakir.


1001 Feqh Nasihah, m/s : 20

4 Golongan Yang Paling Kaya Disisi Allah

Syeikh Abu Hassan As- Syazili berkata :

Kasih kepada Allah SWT.
Kaya kepada Allah SWT.
Benar kepada Ubudiyah (Benar dalam penyembahan Allah SWT).
Yakin pada segala hukum Rububiyah ( Yakin pada Ketetapan Allah ).


Kitab Soal-Jawab A-Z Tentang Tasawuf, m/s : 99

5 Perkara Yang Allah SWT Halang

1- Sesiapa yang tidak membayar zakat, Allah SWT tidak akan memelihara harta miliknya.
2- Sesiapa tidak bersedekah, Allah SWT tidak akan menjaga kesihatannya.
3- Sesiapa tidak membayar zakat tanaman, Allah SWT tidak akan memberi berkat dan tanaman tidak akan berhasil atau tidak akan berbuah.
4- Sesiapa tidak berdoa, Allah SWT tidak akan memperkenankan permintaannya.
5- Sesiapa melengah-lengahkan solat, disaat dia menghampiri kematian dia tidak akan dapat mengucap lafaz ” لا إله إلا الله “.


Kitab Jauhar Mauhub, m/ s : 160

4 Jenis Tawakkal Tertinggi Dalam Ilmu Tasawwuf

Marilah kita lihat kesabaran orang-orang terdahulu dalam prinsip tawakkal mereka kepada Allah SWT :

1- Mampu berlapar selama tujuh hari jika tidak mendapat apa-apa rezeki.
2- Tidak bergantung rezeki kepada manusia kerana rezeki sebenar hanya daripada Allah SWT.
3- Apabila rezeki tidak datang, ia tidak berkecil hati kepada Allah SWT namun tetap bersabar dengan hati yang penuh ketenangan.
4- Malah hatinya tetap bergembira dengan kelaparan yang Allah SWT berikan, kerana ia tahu bahawa kelaparan itu adalah pemberian Allah SWT. Ia yakin dengan firman Allah SWT yang bermaksud ” Setiap makhluk yang Allah SWT ciptakan telah ditentukan rezekinya semenjak azali lagi “.

1001 Feqh Nasihah, m/s : 242

Friday, December 24, 2010

AL-QURAN

WAHYU PROGRESIF DAN KITAB KEMANUSIAAN SEJAGAT



1. Pendahuluan

Benarkah Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya nabi Muhammad dan para juru tulisnya? Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Nabi, para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman ini. Umat Islam dengan keras menolak fahaman itu. Al Quran bukan merupakan rekaan Nabi dan para juru tulisnya. Nabi SAW tidak boleh membaca dan menulis. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahawa Al Quran itu mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniakan kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar wahyu Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri, yakni salah satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan……", (QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14; 2:23-24; 17:88).
Perbincangan ini coba membahaskan secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab manusia sejagat.

2. AL QURAN

2.1. Definisi
Kata Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk masdar-nya adalah qur'an yang bererti bacaan.(1) Al Quran mempunyai beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr yang berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti diturunkan (QS. 26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda (petunjuk), Ar-Rahman (kasih), Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an (tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa nama, yakni Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman Tuhan), dan An-Nur (cahaya).

Istilah qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau "tilawah" (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan pada acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa Ibrani (pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân membawa maana " kesinambungan bacaan " atau "bacaan abadi", yang dibaca dan didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut difahami sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi kesusasteraan. Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang "diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir 23 tahun.(2) Dalam keadaan yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri umm al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39). Bagi seluruh muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.

2.2. Al Quran: Sejarah, Isi, dan Pengumpulannya
Sebagai wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini antara lain adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara mengingatkannya terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan.

Ayat-ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-'Alaq. Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang tahannuts (bermeditasi) di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ, dekat kota Makkah. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat Jibril datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau menjawab, "Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban Nabi SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat erat, kemudian melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca. Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah Al- 'Alaq (96), yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al Quran.(3)

Ketika menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril memeluk dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril, lalu lari pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya. Bagi dia, menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang dapat membuat dia bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada saat dia berada dalam ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan, menyuruh Muhammad untuk "bangkit dan mengingatkan" (QS. Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali menerima wahyu sepertinya nabi dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak dengan indera biasa. Hal itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada didekatnya tidak melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa pernah ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)

Setelah peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun.(6) Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi tenang setelah turun Surah ad-Duha. Sesudah itu ayat-ayat lain diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.

Pada umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah hari Jumaat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (7) (QS . 5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632). Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan nama haji wadak (haji penghabisan).

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke dunia. Namun dari kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23 tahun.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al Quran diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang diturunkan dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW.
Pendapat ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa Al Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar. Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:

Malaikat Jibril "memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus mewahyukan ke dalam kalbuku".
Malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya itu.
Wahyu itu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara ini dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan 14)
Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19). Hafalan tersebut diawasi atau disemak oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah juga membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di samping menyuruh para sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan, Nabi SAW juga memerintahkan mereka yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai menulis sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di Madinah, Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang terkenal ialah Zaid bin Sabit.

Masa turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).

Kedua periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah. Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha allazina amanu (wahai orang-orang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.

2.2.2. Isi Al Quran
Al Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai jumlah ayat ini.(9)

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke dalam 30 Juz (bahagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb ditulis di tepinya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al Quran dibagi pula ke dalam 554 rubu' (bagian yang terdiri atas beberapa ayat). Setiap satu rubu' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa rubu', sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu rubu'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al Quran) terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut).

Dalam Al Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan juga hasil segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang menjelaskan segala sesuatu" (QS. 12:111). Pada dasarnya Al Quran berisi akidah dan syariah. Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan syariah "amal saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibezakan namun tak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik. Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak berakidah adalah munafik.(11)

2.2.3. Pengumpulan Al Quran
Pengumpulan Al Quran telah dimulakan sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana diketahui, Al Quran diwahyukan secara beransur-ansur.
Setelah ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membezakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk tentang urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu berlangsung sampai Al Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun.

Untuk menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk menyemak bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat Jibril datang dua kali. Ia menyemak bacaan Rasulullah dengan cara menyuruhnya mengulangi hafazan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi sendiri juga melakukan hal sama, yaitu menyemak bacaan sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al Quran dari kesalahan dan kekeliruan.

Pada masa Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan lancar.(12) Di samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu.(13) Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka itu disimpan di rumah Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang), melainkan masih berserakan.

Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW sampai terjadinya perang Yamamah yang menyebabkan 70 sahabat yang terdiri daripada penghafal Al Quran (huffaz) tekorban syahid. Karena banyak yang gugur sebagai syuhada, maka timbul kekhawatiran akan kejadian seperti ini berulang dalam peperang lain. Lebih jauh lagi, hal itu dapat mengakibat kehilangan al-Quran . Oleh karena itu, Umar bin Khattab menyarankan supaya al-Quran itu dikumpul ke dalam satu mushaf. Abu Bakar merasa berat untuk menerima tugas itu. Namun pada akhirnya ia dapat menerimanya demi memelihara kesucian Al Quran. Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin Ka'b, Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para pembaca) lainnya. Di dalam usaha mengumpulkan al-Quran, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan dan ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf, kemudian disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu Bakar.

Sesudah Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada masa khalifah Usman bin Affan, timbul perselisihan masalah qiraat (wajah-wajah lain dalam bacaan Al Quran). Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan itu ialah perlunya Khalifah Othman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Quran standard yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah panitia. Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah yang disebut Mushaf 'Uthmani. Semuanya berjumlah 5 buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah untuk disalin serta diperbanyakkan.

Usaha mengumpul Al Quran di zaman saidina Uthman membawa beberapa hikmah, antara lain (1) menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraat , (2) meyeragamkan dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib uruta seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Uthman ke berbagai negara Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan memperbanyakkan mushaf itu dengan berhati-hati. Diriwayatkan bahawa Abdul Aziz bin Marwan (gabenor Mesir) setelah menulis mushaf-nya, menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahawa siapapun yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan duit sejumlah tiga puluh dinar. Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al Quran ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Uthmani juga bertambah pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)

2.3. Al Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang difahami sebagai " inspirasi ". Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di antara mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik kepada wahy, yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia terpilih, yang dikenal sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai petunjuk.(16) Proses pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi pertama) dan berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk Al Quran.

Kaum muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat nabi Musa, Mazmur atau Zabur nabi Daud, dan Injil nabi Isa sebagai jalinan dalam rantai wahyu ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang hati-hati terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan peringatan bagi umat manusia. Sejak wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia, pemahaman intelektual serta implementasi praktik melalui contoh keagamaan juga diperlukankan. Dengan demikian, nabi-nabi adalah pembawa peringatan dan sekaligus sebagai model.

Para pemikir muslim mutakhir telah mengekspresikan keperluan dan interpretasi, wahyu Al Quran dari metode literalisme sempit dan ayat demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana tafsir yang awal. Hal ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan cepat dan radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan keperluan.

Pada sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta pengetahuan yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof berpendapat bahwa akal manusia mencukupi untuk membimbing urusan-urusannya. Untuk itu, manusia hanya perlu berpaling kepada wahyu dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al Quran adalah wahyu dari kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan tidak dapat disamai.(17)

Kaum Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al Quran adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa Arab……pada orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau (Muhammad) harus mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada dirimu sendiri……Seandainya Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak Kami wahyukan, maka kami akan merenggutnya dengan kekuatan dan memotong urat nadi jantungnya" (QS. 4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17; 69:45-46).

Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz.

2. 4. Al Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi tafsir kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu progresif?

progresivitas Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang, dan ke masa depan. Sebagai teks progresif, ia tentu tidak mampu bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun menjadi wahyu yang progresif. Di sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia merekam seluruh spektrum perjuangan para nabi yang dihadapkan pada pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula Esa berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penterjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta keperluanan komunikasi. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologi disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.

Penggunaan Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta si kaya", ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S. al-Ma'arif/70:25; al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran mengformasikan model keadilan distributif, agar "harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini membuktikan progresif teks Al Quran yang berdialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa depan saat permasalahan kemiskinan serta penindasan bermaharajalela di mana-mana. Pada saat yang sama pula, harta dan kekayaan hanya berputar di antara mereka yang kaya serta berkuasa.

Dr. Farid Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks mustadl'afnn (Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal, dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Teks tersebut benar-benar mempersembahkan semua penderitaan orang-orang tertindas di Afrika Selatan.(20)

Itulah salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu progresif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk hermeneutika Al Quran yang ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang memihak dan membebaskan kaum lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir selalu difahami dan dibicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan sebuah kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, syaitan, malaikat, kematian, atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan Al Quran dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama, dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka itu hancur lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua, kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia dan haiwan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua surat Al Quran.
Contoh ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga boleh didapati dalam Al Quran. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang ditaktorr, kejam, dan zalim, dengan para penguasa yang mengambil rasuah serta kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa, tidak akan bertahan lama, bahkan berhadapan dengan kehancuran. Sebaliknya Al Quran juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur yang dipimpin oleh raja dan para pemimpin yang adil, yang sentiasa memahami, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah haiwan dan tumbuhan akibat perbuatan manusia.
Keempat, di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke layar sejarah peradaban dengan posisi serta keadaan semasa yang dihadapinya. Masih banyak contoh lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Dengan contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran berfungsi sebagai petnjuk bagi manusia supaya dapat membedakan jalan hidup yang terang dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah, tetapi bagi memenuhi kepentingan keperluan manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai suatu perkhabaran atau dzikir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat dalam 1.882 ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan demikian, jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang progresif, juga merupakan kitab kemanusiaan.

3. Kesimpulan

Bila dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membezakan dirinya sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika, serta memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan kepada manusia tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan perintah untuk kehidupan sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai syariah (hukum) atau minhâj (program). Keajaiban Al Quran menurut banyak orang muslim saat ini, bukanlah dari cara wahyu itu disampaikan kepada Muhammad di gua Hirâ' - di Mekkah, dan kelak di Madinah, tetapi terletak pada kemampuannya secara terus menerus dalam memberi suatu kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam pastilah terus menerus kreatif dan inovatif dalam penerapan visi dan misi di tengah dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon modernisasi sebagaimana agama-agama lain

Masalah Menyentuh Al Qur’an Tanpa Wudhu

Para imam telah bersepakat diharamkan membawa mushaf dan menyentuhnya bagi orang yang sedang haid, nifas maupun junub. Tidak seorang pun sahabat yang menentangnya. Namun hal tersebut dibolehkan oleh Daud dan Ibnu Hazmazh Zhahiriy.

Dalil yang digunakan oleh para imam adalah firman Allah :

إِنَّهُ لَقُرْآَنٌ كَرِيمٌ (77) فِي كِتَابٍ مَكْنُونٍ (78) لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (79) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (80)

Artinya : “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada Kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh). tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.”

(QS. Al Waqi’ah : 77 – 80)

Bahawa yang dimaksud dengan al Kitab di situ adalah mushaf sedangkan makna menyentuh adalah menyentuh secara fizikal yang telah diketahui.

Dalil ini mendapat tanggapan dari sebagian ulama yang menafsirkan “kitab yang terpelihara” adalah Lauh Mahfuzh sedangkan makna “orang-orang yang suci” adalah para malaikat. Atau seandainya yang dimaksud dengan al Kitab adalah mushaf, maka orang-orang yang suci adalah orang-orang yang suci dari kesyirikan, kerana orang-orang musyrik adalah najis. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibnul Qoyyim didalam “At Tibyan fii Aqsaamil Qur’an, hal 141” bahawa yang dimaksud dengan al Kitab adalah yang ada ditangan para malaikat.

Para imam juga berdalil dengan hadis Ibnu Umar,

”Janganlah kamu menyentuh al Qu’an kecuali kamu dalam keadaan bersih”

Hadis disebutkan oleh Haitsami di dalam “Majma’ az Zawaid”. Dia mengatakan bahawa orang-orang yang meriwayatkannya boleh dipercayai. Sedangkan al Hafizh mengatakan bahawa sanadnya tidak masalah namun di dalamnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan.

Sedangkan dalil Daud dan Ibnu Hazm yang mengatakan tidak diperbolehkan membawa dan menyentuhnya adalah apa yang terdapat di dalam ash Shahihain, bahawa Nabi saw mengutus sebuah tulisan kepada Hiraklius yang didalamnya terdapat ayat :

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ (64)

Artinya : “Katakanlah: “Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan…”.

(QS. Al Imran : 64)

Termasuk tulisan-tulisan lainnya yang dikirim kepada mereka yang mana mereka tidaklah bersih dari junub.

Hal ini dijawab oleh para imam dengan mengatakan bahawa surat tidaklah boleh disamakan dengan mushaf dan tidak ada larangan dalam hal ini, seperti halnya membawa buku-buku agama yang didalamnya terdapat ayat-ayat al Qur’an. Dari sini kita dapat mengetahui bahawa membawa atau menyentuh mushaf bagi orang yang sedang haid atau junub adalah diharamkan. Tidak ada yang membantahnya. Hal itu merupakan bentuk penghormatan terhadap mushaf.

Adapun bagi orang yang berhadas kecil, maka hukumnya sebagai berikut :

1. Jumhur ulama mengharamkannya menyentuh dan membawa mushaf, ini adalah pendapat Malik, Syafi’i dan Abu Hanifah di dalam salah satu riwayatnya, dalil-dalil mereka sama dengan yang diatas.

2. Sebagian ulama membolehkannya, ini adalah pendapat Abu Hanifah di dalam salah satu riwayatnya sebagaimana juga dibolehkan oleh Daud bin Ali.

Sebahagian orang-orang yang mengharamkannya mengecualikan hal itu terhadap anak-anak kecil yang belum baligh atau bermimpi kerana keperluan mereka untuk menghafal Al Qur’an serta memudahkan penghafalannya bagi mereka. Jika pun seorang anak itu bersuci (wudhuk) maka bersucinya itu tidaklah sah disebabkankan tidak sah niatnya. Hal ini kemudian dianalogikan kepada orang-orang dewasa yang memerlukan al Qur’an untuk menghafal Al Qur’an. Adapun apabila untuk tujuan ibadah maka diharuskan ke atasnya untuk bersuci.

Demikianlah, membaca al Qur’an tanpa menyentuh atau membawa mushaf dibolehkan bagi orang yang sedang berhadas kecil. Ini sudah menjadi kesepakatan para fuqoha, walaupun yang paling utama (afdhol) adalah dalam keadaan bersuci, khususnya apabila dimaksudkan untuk ibadah, kerana ibadah dengan bersuci lebih sempurna dan lebih boleh diharapkan untuk diterima. (Fatwa al Azhar juz VII hal 496

Tidak boleh Menyentuh Mushaf al-Qur’an Dalam Keadaan Berhadath

A. Keterangan para ulama tentang hal ini

Ishaq bin Manshur al Kusji dalam Masail-nya 1/89 mengatakan, “Aku bertanya kepada Imam Ahmad, ‘Apakah seorang yang tidak dalam keadaan berwudhu boleh membaca al Qur’an?” Jawaban beliau, “Boleh akan tetapi tidak boleh membaca al Qur’an sambil memegang mushaf kecuali orang yang dalam keadaan berwudhu”.

Ishaq bin Rahuyah lantas mengatakan, “Hal itu dikarenakan adanya hadits yang shahih dari Nabi, ‘Tidak boleh menyentuh al Qur’an kecuali orang yang suci’. Demikianlah yang dilakukan oleh para shahabat dan tabiin”.

Pendapat Imam Ahmad dan Ishaq bin Rahuyah ini juga dinukil oleh Ibnul Mundzir dalam al Ausath (2/322, Syamilah).

مَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ أَنَّهُ لا يَمَسُّ الْمُصْحَفَ إلا طَاهِرٌ كَمَا قَالَ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِو بْنِ حَزْمٍ : { أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إلَّا طَاهِرٌ } . قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَد : لا شَكَّ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَتَبَهُ لَهُ وَهُوَ أَيْضًا قَوْلُ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِمَا . وَلَا يُعْلَمُ لَهُمَا مَنْ الصَّحَابَةِ مُخَالِفٌ .
Ibnu Taimiyyah berkata, “Pendapat imam mazhab yang empat, mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci sebagaimana dalam surat yang dikirimkan oleh Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazm, ‘Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci’. Imam Ahmad mengatakan, ‘Tidaklah diragukan bahwa Nabi telah menuliskan surat tersebut kepada Amr bin Hazm’. Inilah pendapat Salman al Farisi, Abdullah bin Umar dan yang lainnya. Tidak diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi pendapat dua shahabat ini” (Majmu Fatawa 21/288).

Beliau juga mengatakan, “Adapun menyentuh mushaf maka pendapat yang benar wajib berwudhu sebelum menyentuh mushaf sebagaimana pendapat jumhur fuqaha. Inilah pendapat yang diketahui dari para shahabat , Saad, Salman dan Ibnu Umar” (Majmu Fatawa 21/288).

Beliau juga berkata, “Dalam masalah ini terdapat riwayat yang shahih dari para shahabat dan itulah pendapat yang didukung dalil dari al Qur’an dan sunnah. Yaitu orang yang dalam keadaan berhadats tidaklah diperbolehkan untuk menyentuh mushaf dan melakukan shalat jenazah namun boleh melakukan sujud tilawah. Tiga masalah ini terdapat riwayat yang kuat dari para shahabat” (Majmu Fatawa 21/270).

Dalam Syarh al Umdah 1/383, Ibnu Taimiyyah berkata, “Hal itu juga merupakan pendapat sejumlah tabiin tanpa diketahui adanya perselisihan di antara para shahabat dan tabiin. Ini menunjukkan bahwa pendapat ini telah dikenal di antara mereka”.

Al Kharqi mengatakan, “Tidak boleh menyentuh mushaf melainkan orang yang suci”. Perkataan beliau ini dijelaskan oleh Ibnu Qudamah sebagai berikut, “Yaitu suci dari hadats besar dan hadats kecil. Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Ibnu Umar, al Hasan al Bashri, Atha’, Thawus, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii dan ashhab ra’yi (Abu Hanifah dkk). Kami tidak mengetahui adanya pendapat yang menyelisihi pendapat mereka kecuali Daud azh Zhahiri yang membolehkan orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf…. Sedangkan al Hakam dan Hammad membolehkan orang yang berhadats untuk menyentuh mushaf dengan menggunakan belakang telapak tangan” (al Mughni 1/256, Syamilah).

Al Nawawi berkata, “Para ulama bermazhab Syafie berdalil dengan hadith di atas. Demikian juga dikarenakan hal tersebut adalah pendapat Ali, Saad bin Abi Waqash dan Ibnu Umar tanpa diketahui adanya shahabat lain yang menyelisihi pendapat beliau-beliau” (al Majmu 2/72, Syamilah).

Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Para pakar fiqh dari berbagai kota yang mereka dan murid-murid mereka adalah rujukan dalam fatwa bersepakat bahwa mushaf al Qur’an tidak boleh disentuh kecuali oleh orang yang suci.”

Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah dan murid-murid mereka, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah pakar fiqh dan hadits di masanya.

Diriwayatkan bahwa ini adalah pendapat Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad dan Atha. Merekalah para ulama dari generasi tabiin yang tinggal di kota Madinah, Mekah, Yaman, Kufah dan Bashrah” ( al Istidzkar 2/472, Syamilah).

Dalam at Tamhid (17/397, Syamilah), Ibnu Abdil Barr berkata, “Para pakar fiqh dari berbagai kota baik Madinah, Iraq dan Syam tidak berselisih pendapat bahwa mushaf tidaklah boleh disentuh melainkan oleh orang yang suci dalam artikata berwudhu. Inilah pendapat Imam Malik, Syafii, Abu Hanifah, Sufyan ats Tsauri, al Auzai, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Abu Tsaur dan Abu Ubaid. Merekalah para pakar fiqh dan hadits di masanya.

Diriwayatkan bahwa inilah pendapat Saad bin Abi Waqash, Abdullah bin Umar, Thawus, al Hasan al Bashri, Sya’bi, al Qasim bin Muhammad dan Atha”.
Al Wazir bin Hubairah dalam al Ifshah 1/68 mengatakan, “Mereka sepakat bahwa orang yang berhadats tidak diperbolehkan untuk menyentuh mushaf”.

B. Riwayat dari Para Shahabat Tentang hal Ini

1. Saad bin Abi Waqash

عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ أَنَّهُ قَالَ كُنْتُ أُمْسِكُ الْمُصْحَفَ عَلَى سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ فَاحْتَكَكْتُ فَقَالَ سَعْدٌ لَعَلَّكَ مَسِسْتَ ذَكَرَكَ قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ قُمْ فَتَوَضَّأْ فَقُمْتُ فَتَوَضَّأْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ

Dari Mush’ab bin Saad bin Abi Waqash, “Aku memegang mushfah di hadapan Saad bin Abi Waqash lalu aku menggaru-garu kemaluanku”. Beliau lantas berkata, “Engkau menyentuh kemaluanmu?”. “ Ya ”, jawabku. Beliau berkata, “Berdirilah lalu berwudhulah”. Aku lantas bangkit berdiri dan berwudhu lalu aku kembali (Diriwayat oleh Imam Malik dalam Muwatha no 128 dll).
Al Baihaqi dalam al Khilafiyat 1/516 mengatakan, “Riwayat ini shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al Muwatha’).
Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah berkata, “Riwayat tersebut shahih dari Saad”.
Riwayat di atas juga dinilai shahih oleh al Albani dalam al Irwa 1/161 no 122.

2. Salman al Farisi

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ كُنَّا مَعَهُ فِى سَفَرٍ فَانْطَلَقَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَقُلْتُ أَىْ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ تَوَضَّأْ لَعَلَّنَا نَسْأَلُكَ عَنْ آىٍ مِنَ الْقُرْآنِ فَقَالَ سَلُونِى فَإِنِّى لاَ أَمَسُّهُ إِنَّهُ لاَ يَمَسُّهُ إِلاَّ الْمُطَهَّرُونَ فَسَأَلْنَاهُ فَقَرَأَ عَلَيْنَا قَبْلَ أَنْ يَتَوَضَّأَ.

Dari Abdurrahman bin Yazid dari Salman, Kami bepergian bersama Salman. Suatu ketika beliau pergi untuk buang hajat setelah kembali aku berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, berwudhulah agar kami bisa bertanya kepadamu tentang ayat-ayat al Qur’an”. Beliau berkata, “Silahkan bertanya namun aku tidak akan menyentuhnya. ‘Sesungguhnya tidaklah menyentuhnya melainkan orang-orang yang disucikan’ (QS al Waqiah:77)”. Kamipun mengajukan beberapa pertanyaan kepada beliau dan beliau bacakan beberapa ayat kepada kami sebelum beliau berwudhu (Diriwayatkan oleh al Hakim no 3782 dan dinilai shahih oleh al Hakim dan disetujui oleh adz Dzahabi, Daruquthni no 454 dll).
Dalam Majmu Fatawa 21/200, Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa riwayat dari Salman itu shahih.

3. Abdullah bin Umar

عن نافع عن بن عمر أنه كان لا يمس المصحف إلا وهو طاهر

Dari Nafi, “Tidaklah Ibnu Umar menyentuh mushaf melainkan dalam keadaan suci” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no 4728

Hukum Mencium Tangan dan Membungkukkan Badan

Masalah cium tangan

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,

“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.

1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.

2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.

3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).

Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah.

Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا

Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebahagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).

Dari uraian di atas semoga dapat difahamkan dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan

Thursday, December 9, 2010

Penurunan Al-Quran

PENURUNAN AL-QURAN (NUZUL AL-QURAN)

PENGENALAN

Allah SWT telah menurunkan al-Quran sebagai satu mukjizat yang membuktikan kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Dan kewujudan Allah SWT dengan segala sifat-sifat kesempurnaannya. Membaca al-Quran serta menghayati Dan mengamalkannya adalah satu ibadat. Ia merupakan satu kitab panduan hidup manusia Dan rujukan utama di samping sunnah Rasulullah. Al-Quran dinukilkan kepada Kita secara mutawatir, pasti Dan qat’i Dan ditulis mashaf yang Hari ini lebih dikenali sebagai mashaf ‘Uthmani. Adalah wajar bagi Kita umat Islam mengkaji sejarah al-Quran Dan perkara yang berkaitan dengannya. Penulisan ini akan mengemukakan satu perbincangan mengenai penurunan al-Quran (Nuzul al-Quran) salah satu aspek daripada pengajian ‘Ulum al-Quran’. Ilmu berkaitan Nuzul akan membicarakan mengenai cara-cara wahyu diturunkan, peringkatnya, tempat-tempat turunnya ayat-ayat al-Quran, masanya, awalnya Dan akhirnya. Berdasarkan ilmu tersebut, Kita dapat mengetahui ayat-ayat Makkiyah Dan Madaniyyah Dan juga mengetahui asbab al-nuzul.

PENGERTIAN NUZUL AL-QURAN

Daripada segi bahasa, perkataan ‘Nuzul’ bererti menetap di satu tempat atau turun dari tempat yang tinggi. Kata perbuatannya ‘nazala’ (نزل) membawa maksud ‘dia telah turun’ atau ‘dia menjadi tetamu’. Sebenarnya penggunaan istilah Nuzul al-Quran ini secara majaz atau simbolik sahaja yang bermaksud pemberitahuan al-Quran. Tujuannya untuk menunjukkan ketinggian al-Quran.

Secara teknikalnya Nuzul al-Quran bererti penurunan al-Quran dari langit kepada Nabi Allah yang terakhir. Perkataan Nuzul dalam pelbagai wajah sama Ada kata nama, kata perbuatan atau lainnya digunakan dalam al-Quran sebanyak lebih kurang 290 kali. Sebagai contoh, “Dia yang telah…..menurunkan hujan.” (al-Baqarah:22), “Dialah….yang menurunkan Taurat Dan Injil.” (Ali Imran:3) Dan banyak lagi ayat-ayat lain.

CARA AL-QURAN (WAHYU) DITURUNKAN

‘Aishah isteri Rasulullah s.a.w. Meriwayatkan sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul, beliau bermimpi perkara yang benar lalu beliau menyendiri di gua Hira’ beribadah kepada Allah SWT untuk selama beberapa tahun. Di gua berkenaanlah baginda menerima wahyu yang pertama.

Harith bin Hisham, seorang sahabat Rasulullah s.a.w. Pernah bertanya kepada Baginda bagaimana Wahyu diturunkan kepadanya. Rasulullah menjawab,”Kadang-kadang wahyu datang kepada-Ku dengan gema (desingan) loceng Dan ini amat berat bagi-Ku, Dan sementara bunyi itu hilang aku mengingati apa yang disampaikan kepada-Ku. Kadang IA datang dalam bentuk jelmaan malaikat kepada-Ku merupai lelaki, bercakap dengan-Ku Dan aku menerima apa saja yang disampaikannya kepada-Ku.”

PERINGKAT PENURUNAN AL-QURAN

Para ulama menyatakan penurunan al-Quran berlaku dalam dua bentuk iaitu secara sekali Gus, Dan berperingkat. Walau bagaimanapun mereka berselisih pendapat tentang berapa kali berlakunya penurunan al-Quran secara sekali Gus. Terdapat tiga pandangan mengenai hal ini, iaitu penurunan al-Quran dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz; kali kedua, dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-‘Izzah di langit dunia; Dan kali ketiga, Penurunan kepada Jibril a.s. Dalam tempoh 20 malam.

Al-Suyuti dalam kitabnya ‘al-Itqan if Ulum al-Quran’ berdasarkan tiga riwayat oleh Ibn ‘Abbas, Hakim Dan al-Nasa’i, hanya membahagikan kepada dua peringkat sahaja iaitu dari al-Lauh Mahfuz ke Bait al-‘Izzah Dan dari Bait al-‘Izzah kepada Rasulullah s.a.w. Melalui Jibril a.s.

1. Dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz.

Penurunan ini berlaku sekali Gus dengan tujuan untuk membuktikan ketinggian Dan kekuasaan Allah SWT. Para Malaikat menyaksikan bahawa segala perkara yang ditentukan oleh Allah SWT di Luh Mahfuz ini benar-benar berlaku. Pendapat ini disandarkan kepada ayat 21 Dan 22 surah al-Buruj yang berbunyi,

بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مجيد فِي لَوْحٍ مَحْفُوظ .

“(Sebenarnya apa yang engkau sampaikan kepada mereka bukanlah syair atau sihir), bahkan ialah Al-Quran yang tertinggi kemuliaannya; (Lagi yang terpelihara dengan sebaik-baiknya) pada Luh Mahfuz.” (al-Buruj:21-22)

2. Dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia.

Penurunan kali kedua secara sekali Gus dari al-Lauh al-Mahfuz ke Bait al-’Izzah di langit dunia dipercayai berlaku berpandukan kepada tiga (3) ayat al-Quran sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbas;

Allah SWT berfirman,

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“(Masa yang diwajibkan kamu berpuasa itu ialah) bulan Ramadan yang padanya diturunkan Al-Quran, menjadi petunjuk bagi sekalian manusia Dan menjadi keterangan-keterangan yang menjelaskan petunjuk Dan (menjelaskan) perbezaan antara yang benar dengan yang salah. Oleh itu, sesiapa dari antara kamu yang menyaksikan anak bulan Ramadan (atau mengetahuinya), maka hendaklah dia berpuasa bulan itu Dan sesiapa yang sakit atau dalam musafir maka (bolehlah dia berbuka, kemudian wajiblah dia berpuasa) sebanyak Hari yang ditinggalkan itu pada hari-Hari yang lain. (Dengan ketetapan yang demikian itu) Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan Dia tidak menghendaki kamu menanggung kesukaran dan juga supaya kamu cukupkan bilangan puasa (sebulan Ramadan) dan supaya kamu membesarkan Allah kerana mendapat petunjuk-Nya dan supaya kamu bersyukur.” (al-Baqarah:185)

Firman Allah SWT,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Quran itu pada malam yang berkat; (Kami berbuat demikian) kerana sesungguhnya Kami sentiasa memberi peringatan dan amaran (jangan hamba-hamba Kami ditimpa azab).” (ad-Dukhan:3)

Firman Allah SWT,

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar.” (al-Qadr:1)

Ibn ‘Abbas juga menyatakan mengikut apa yang diriwayatkan oleh Said b. Jubayr: “Al-Quran diturunkan sekali gus pada malam yang penuh berkat.” Ikrimah pula meriwayatkan ‘Abdullah bin ‘Abbas berkata: “Al-Quran diasingkan daripada al-Dhikr ‘الذكر’ dan ditempatkan di Bait al-‘Izzah di langit dunia.

Ibn Marduwayh dan al-Baihaqi mencatatkan perbualan antara ‘Atiyyah bin al-Aswad dan ‘Abdullah bin ‘Abbas yang mana ‘Atiyyah agak keliru mengenai penurunan ayat-ayat ini, “Pada bulan Ramadhan al-Quran diturunkan”, dan “Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar”, ia juga diturunkan pada bulan Syawwal, Dhu al-Qaedah, Dhu al-Hijjah, al-Muharram, Safar dan Rabi’ al-Awwal.” Kemudian Ibn ‘Abbas menjelaskan: “Al-Quran diturunkan pada malam Lailatul-Qadar sekali gus kemudiannya untuk diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w. secara beransur-ansur selama beberapa bulan dan hari.”

3. Dari Bait al-’Izzah kepada Rasulullah s.a.w. (dalam masa 20 malam).

Penurunan di peringkat ini telah berlaku secara beransur-ansur. Al-Quran mula diturunkan kepada Rasulullah s.a.w. sejak baginda dilantik menjadi Rasulullah s.a.w. dan selesai apabila baginda hampir wafat, iaitu dalam tempoh dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di Makkah dan sepuluh tahun di Madinah al-Munawwarah.

Mengikut pendapat ini, Jibril a.s. diberi Malam Lailatul-Qadar setiap tahun, dari mula turun wahyu hingga ke akhirnya sepanjang tempoh kenabian, sebahagian daripada al-Quran disimpan di Bait al-‘Izzah yang mencukupi baginya untuk disampaikan kepada Rasulullah s.a.w. dalam masa 20 malam. Pandangan ini dipegang kuat oleh al-Mawardi.

Kritikan terhadap Pandangan atau Pendapat di atas.

Mengenai pendapat pertama mengenai al-Quran diturunkan sekali gus dari Allah SWT ke al-Lauh Mahfuz tidak disokong oleh bukti yang jelas dan kukuh. Ayat dalam surah al-Buruj yang digunakan sebagai hujah tidak menunjukkan secara tersurat atau tersirat mengenai penurunan sekali gus. Para ulama hanya membuat tafsiran pada ayat ini. Maksud ayat ini menceritakan tentang al-Quran dipelihara daripada sebarang pencemaran. Ayat ini ditujukan kepada musuh-musuh Islam yang cuba menambah, mengurang atau mengubah ayat al-Quran tidak akan dapat berbuat demikian kerana ia akan tetap tulen dan selamat. Tafsiran ini disokong oleh para mufassir seperti Tabari, Baghawi, Razi dan Ibn Kathir.

Pendapat kedua tentang penurunan sekali gus ke Bait al-‘Izzah berpandukan kepada ayat 2, surah al-Baqarah dan ayat 1, surah al-Qadr tidak menyatakan secara jelas mengenai al-Quran diturunkan sekali gus pada malam yang penuh berkat tersebut. Kenyataan al-Quran ini merujuk kepada masa ia diturunkan dan tidak mengenai bagaimana atau cara ia diturunkan. Ulama tabiin yang terkenal ‘Amir al-Sha’abi mengatakan: “Sudah pasti penurunan al-Quran berlaku pada Malam Lailatul-Qadr pada bulan Ramadhan, dan terus turun dalam masa 23 tahun. Tidak ada Nuzul lain melainkan yang diturunkan kepada Rasulullah s.a.w.”

Jumhur bersetuju yang ayat 1-5 daripada surah al-‘Alaq diturunkan di akhir Ramadhan 13 tahun sebelum Hijrah. Ketiga-tiga ayat yang dijadikan hujah di atas, tidak dinafikan, merujuk kepada ayat 1-15 surah al-‘Alaq. Cuma para ulama mentafsirkan ayat 185 surah al-Baqarah sebagai ‘keseluruhan al-Quran’. Para ulama, fuqaha, ahli hadith dan ahli tafsir semuanya bersetuju perkataan al-Quran merujuk kepada sebuah al-Quran atau sebahagian daripadanya. Malah ia dinyatakan dalam surah al-A’raf, ayat 204, Allah SWT berfirman,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila Al-Quran itu dibacakan, maka dengarlah akan dia serta diamlah (dengan sebulat-bulat ingatan untuk mendengarnya), supaya kamu beroleh rahmat.”

Mengenai riwayat Ibn ‘Abbas, ia merupakan pandangan beliau dan tidak ada dikaitkan dengan sebarang ucapan Rasulullah s.a.w. sebagai satu sumber menyokong pendapatnya. Suatu persoalan timbul mengapa perkara sepenting ini hanya disebut oleh Ibn ‘Abbas sedangkan di kalangan sahabat yang diiktiraf sebagai pakar al-Quran seperti ‘Abdullah Mas’ud, Ubayy bin Ka’ab, Zaid bin Thabit dan Mu’az bin Jabal tidak membicarakan perkara Nuzul al-Quran yang diturun sekali gus ke Bait al-‘Izzah.

Al-Zarqani berpendapat tidak wajar untuk mempersoalkan atau tidak mempercayai Ibn ‘Abbas kerana beliau dikenali sebagai orang yang tidak ada kaitan dengan cerita-cerita israiliyat serta pendiriannya sebagai ‘sahabat’, oleh itu beliau tergolong di bawah ‘Hukm al-Marfu’ iaitu perkara yang ada hubungan dengan Rasulullah s.a.w.

Sebahagian ulama berpendapat penurunan al-Quran hanya sekali sahaja iaitu daripada Allah SWT terus kepada Rasulullah melalui Jibril secara berperingkat dan bukannya tiga kali dari Allah SWT ke al-Lauh al-Mahfuz, ke Bait al-‘Izzah dan kepada Rasulullah. Penulisan ini tidak akan terbabit dalam perbahasan ulama mengenai jumlah penurunan dan juga mengenai riwayat Ibn ‘Abbas bersandarkan kepada Rasulullah atau tidak. Penulis hanya menyampaikan adanya perbezaan pendapat di kalangan ulama mengenai jumlah Nuzul.

Rujuk: Kitab Ulum Al-Quran.
Abuyusoef Hashim Othman al-Maranji

AL-QURAN KETETAPANNYA SEJAK DARI LUH MAHFUZ

Penurunannya Sekaligus dan Diwahyukan Secara Beransur-ansur.

Menurut Ulama Tafsir, turunnya AL-Quran melalui 3 tahap berdasarkan dalil Al-Quran dan Hadith Sohih:

1. Al-Quran di Luh Mahfuz

Firman Allah swt : "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Quran yang mulia, yang tersimpan di Luh Mahfuz."
( Quran: al Buruj : 20-22 )

2. Al-Quran diturunkan ke langit bumi sekaligus.

Firman Allah swt : "Sesungguhnya telah Kami turunkan Al-Quran pada malam Lailatul Qadar yang mulia, yang tersimpan di Luh Mahfuz.”
( Quran: al Qadar : 1)

Firman Allah swt : “Sesungguhnya telah Kami turunkan dia (Al-Quran) pada satu malam yang penuh berkah, sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang memberi peringatan.”
( Quran: ad Dukhan : 3)

Diriwayatkan daripada Ibn Abbas r.a. berkata Al-Quran diturunkan pada malam al-Qadar pada bulan Ramadhan ke langit bumi sekaligus kemudian diturunkan secara beransur-ansur’.
(Riwayat : Imam Thabrani)

Imam as-Suyuti mengemukakan bahawa al-Burthubi menukilkan hikayat ijma’ bahawa turunnya Al-Quran sekaligus adalah dari Luh Mahfuz ke Baitul Izzah (langit pertama).

3. Al-Quran diturunkan dari Baitul Izzah (langit pertama) dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW secara beransur-ansur.

Firman Allah swt : “Al-Quran ini Kami turunkan secara beransur-ansur supaya kamu bacakan kepada manusia dengan perlahan-lahan dan Kami turunkan dia secara sedikit demi sedikit.”
( Quran: al Isra : 106)

Turunnya Al Quran dalam bahasa arab dalam tujuh huruf (dialek suku-suku bangsa arab –iaitu Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazan, Kinanah, Tamim dan Yaman).

Hikmah diturunkan dalam 7 huruf (lahjah/dialek) bagi menyatukan suku-suku bangsa Arab.

AYAT YANG MULA-MULA DITURUNKAN DAN SURAH SEMPURNA YANG MULA-MULA DITURUNKAN

Ayat paling mula diturunkan ialah ayat 1-5 surah al-Alaq tetapi tidak sempurna keseluruhan surah Al-Alaq. Dikenali sebagai ayat menandakan kenabian Nabi Muhammad SAW.

Surah al Muddatsir : ayat –ayat paling mula diturunkan perintah tabligh (Kerasulan Baginda SAW).

Surah yang sempurna semua ayatnya mula-mula diturunkan ialah Surah Al Fatihah (bermaksud- Pembukaan).

Diriwayatkan yang demikian dari jalan Abu Ishak dari Abi Maisarah berkata : “Apabila Rasulullah SAW mendengar suara baginda pergi dengan lari dan beliau menyebutkan turunnya malaikat kepada baginda dan perkataannya : Ucapkanlah Alhamdulillahirabbil'alamin sampai akhir surah".

RUJUKAN

1. Jalaluddin As Suyuti : Riwayat Turunnya Ayat-ayat Quran, Pustaka Darul Fikir

Tuesday, December 7, 2010

Membaca Al-Quran Semasa Ziarah Kubur

Ziarah ke tanah perkuburan adalah suatu yang digalakan oleh syarak amalan ini kebiasaannya dilakukan selepas solat sunat hari raya, kebiasaannya kita akan menziarahi kubur saudara mara khususnya kubur kedua ibubapa.. Apakah amalan ini perlu dihapuskan? selagi ia bukan tegahan Allah dan Rasulnya teruskanlah bila-bila saja , tidak semesti pada hari raya sahaja. Cumanya pada hari itu kita ada kelapangan , hari tu saja dapat balik kampung , maka silakan ziarah kubur orang tersayang. Dibimbangi kalau tidak ziarah pada hari raya, langsung tidak berkesempatan untuk ziarah.

Saya akan mengambil kesempat ini apabila saya menziarahi kubur abah saya dengan membaca al Quran dan berdoa. Terdapat orang yang mempersoalkan amalan baik ini hanya kerana pernah membaca sebuah buku kecil berkaitan perkara-perkara bida'ah, sedang mereka tidak pula merujuk kepada kitab-kitab karangan ulamak yang mu'tabar berkaitan dengan amalan baik ini. Dengan mudah mereka mengatakan amalan ini bukan sunah Rasullah s.a.w. Saya pernah di ajukan sebuah buku kecil tulisan saudara Rasul Dahari, dari seseorang, di dalamnya didatangi dengan hujah yang jika sekali baca kita akan terus menerima pemikiran penulisnya. Sedangkan ada pendapat ulamak mu'tabar yang membenarkan amalan ini.

Mari kita lihat pendapat ulamak-ulamak muk'tabar tersebut:

Pendapat Imam Nawawi:

Dalam Kitab Al-Azkar , Pada Bab Apa yang dibacakan sesudah pengebumian beliau menulis:
Dianjurkan duduk sebentar di kuburan itu setelah selesai pengebumiannya sekadar waktu menyembelih seekor unta serta membahagi-bahagikan dagingnya. Orang yang duduk di situ hendaklah membaca AI-Quran, berdoa bagi si mayit, memberikan nasihat kepada yang duduk di situ dan membawakan cerita-cerita orang yang baik dan berita-berita para salihin.

Berkata Imam Syafi’i dan para sahabat: Ketika itu dianjurkan membaca sedikit daripada AI-Quran di tepi kubur itu, dan jika dapat mengkhatamkan AI-Quran semua sekali di situ memanglah sangat baik sekali.
Kami meriwayatkan dengan isnad hasan bahwa Ibnu Umar menganjurkan membaca di tepi kubur setelah selesai penguburan pertama dari surah AI-Baqarah dan akhirnya

Pendapat Imam Ibn Qayyim
Dalam Kitab ar-Ruh, Pada Tajuk Membaca Al Quran di atas kubur, Imam ibn Qayyim menulis:
Pernah disebutkan daripada setengah para salaf, bahwa mereka mewasiatkan supaya dibacakan di atas kubur mereka di waktu penguburannya. Telah berkata Abdul Haq, diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar pernah menyuruh supaya dibacakan di atas kuburnya surah AI-Baqarah. Pendapat ini dikuatkan oleh Mu’alla bin Abdul Rahman. Ada riwayat mengatakan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal, pada mula nya mengingkari pendapat ini kerana dia masih belum menemui sesuatu dalil mengenainya, kemudian menarik balik pengingkarannya itu setelah jelas kepadanya bahwa pendapat itu betul.

Berkata Khallal di dalam kitabnya ‘AI-]ami’:

Telah berkata kepada ku Al-Abbas bin Muhammad Ad-Dauri, berbicara kepadaku Abdul Rahman bin AI-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, katanya: Ayahku telah berpesan kepadaku, kalau dia mati, maka kuburkanlah dia di dalarm lahad, kemudian ratakan kubur itu dengan tanah , kemudian bacakan dikepalaku dengan pembukaan Ayat Surah AI-Baqarah, kerana aku telah mendengar Abdullah bin Umar r. a. menyuruh membuat demikian.

Berkata AI-Abbas Ad-Dauri kemudian:
Aku pergi bertanya Ahmad bin Hanbal, kalau dia ada menghafal sesuatu ten tang membaca di atas kubur. Maka katanya: Tidak ada! Kemudian aku bertanya pula Yahya bin Mu’in, maka dia telah menerangkan kepadaku bicara yang menganjurkan yang demikian.
Berkata Khallal, telah memberitahuku AI-Hasan bin Ahmad AI Warraq, berbicara kepadaku Ali bin Muwaffa AI-Haddad, dan dia adalah seorang yang berkata benar, katanya:
Sekali peristiwa saya bersama-sama dengan Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah AI-Jauhari menghadiri suatu jenazah. Setelah selesai mayit itu dikuburkan, maka telah duduk seorang buta membaca sesuatu di atas kubur itu. Maka ia disangkal oleh Imam Ahmad, katanya: Wahai fulan! Membaca sesuatu di atas kubur adalah bid’ah! Apabila kita keluar dari perkuburan itu, berkata Muhammad bin Qudamah kepada Imam Ahmad bin Hanbal:
Wahai Abu Abdullah! Apa pendapatmu pada si Mubasysyir AI-Halabi?
Jawab Imam Ahmad:
Dia seorang yang dipercayai.
Berkata Muhammad bin Qudamah seterusnya:
Aku menghafal sesuatu daripadanya!
Sangkal Ahmad bin Hanbal:
Yakah, apa dia?
Berkata Muhammad bin Qudamah:
Telah memberitahuku Mubasysyir, daripada Abdul Rahman bin AI-Ala’ bin Lajlaj, daripada ayahnya, bahwasanya dia telah berpesan, kalau dia dikuburkan nanti, hendaklah dibacakan di kepalanya ayat-ayat per mulaan surah AI-Baqarah, dan ayat-ayat penghabisannya, sambil kata nya: Aku mendengar Abdullah bin Umar (lbnu Umar) mewasiatkan orang membaca yang demikian itu.
Mendengar itu, maka Imam Ahmad bin Hanbal berkata kepada Muhammad bin Qudamah:
Kalau begitu, aku tarik balik tegahanku itu. Dan suruhlah orang buta itu membacakannya.

Berkata AI-Hasan bin As-Sabbah Az-Za’farani pula:
Saya pernah menanyakan hal itu kepada Imam Syafi’i, kalau boleh dibacakan sesuatu di atas kubur orang, maka jawabnya: Boleh, tidak mengapa!
Khallal pula telah menyebutkan lagi daripada As-Sya’bi, katanya:
Adalah kaum Anshar, apabila mati seseorang di antara mereka, sentiasa lah mereka mendatangi kuburnya untuk membacakan sesuatu daripada AI-Quran.

Pendapat Imam Al Ghazali
Dalam Kitab Ihya Ulumiddin pada tajuk ziarah kubur, Imam Al Ghazali menulis:
Tidak mengapa membaca Quran di atas kubur. Kemudian beliau membawa cerita Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Qudamah AI-Jauhari seperti kisah dibawa Ibn Qayyim di atas.
Al Ghazali menambah lagi : Muhammad bin Ahmad al Maruzi berkata , ” Aku menndengar Ahmad bin Hambal mengatakan : Apabila kamu masuk ke perkuburan maka bacalah surah al Fatihah, Surah al Mu’awwaadzatain ( Surah Qul a audzu bi rabbil falaq, Qul a audzu bi rabbil nas ) dan Qul huwallah hu ahad, jadikanlah pahalanya untuk yang dalam kuburan itu, maka pahala itu akan sampai kepada mereka.
Kesimpulan
Maka itu berkeyakinan tiada tegahan melakukan ziarah kubur pada hari raya
Dan berkeyakinan tiada larangan membaca al Quran di atas Kubur. Jika ada larangan sudah tentu Imam Nawawi , Imam Ibn Qayyim , Imam al Ghazali dan Imam Syafie menyebutnya.
Nabi s.a.w pernah bersembahyang jenazah di tanah perkuburan , ini bermakna Nabi s.a.w pernah membaca Fatihah di kubur.

Monday, December 6, 2010

Pemantapan Tarannum Al-Quran

PENGENALAN

Mukjizat teragung anugerah Allah Azzawa jalla yang diwahyukan kepada junjungan besar nabi kita, nabi Muhammmad SAW bukan sekadar dipelajari dari sudut hukum-hukum tajwid dan tafsir sahaja, bahkan ia dituntut agar dialunkan secara bertarannum. Alunan tarannum Al-Quran tidak sama dengan lagu-lagu nyanyian lain, bahkan tidak sama dengan lagu penglipur lara, syair, qasidah dan nasyid. Tidak ada kitab-kitab agama lain yang mengalunkan alunan tarannum seindah bacaan Al-Quran, kerana tarannum Al-Quran mempunyai kaedah dan prinsip hukum-hukum bacaan yang sesuai dengan kehendak ilmu tajwid dan fasohah Al-Quran.
Justeru, penulisan ini berusaha untuk mengupas kaedah-kaedah penyusunan tarannum yang berkesan dan membicarakan berkaitan pengukuhan dan pemantapan persembahan bacaan Tarannum Bil Quran dengan sempurna. Kertas kerja ini juga cuba menggabungjalinkan perkaitan tajuk ini dengan penguasaan seseorang qari terhadap ilmu tajwid, fasohah dan tartil dalam pembacaan, serta keelokan suara (tahsin al-saut) dalam kemahiran bertarannum. Pentadabburan uslub-uslub Al-Quran melalui cabang ilmu ini diharapkan mencapai wawasan dunia dan akhirat sehingga segala maksud dapat difahami dan dihadamkan pada akal, hati, roh serta dapat beramal dengannya.

PENGERTIAN TARANNUM

Tarannum merupakan suatu ilmu atau suatu kaedah suara yang dipelbagaikan bunyi mengikut proses nada, rentak dan irama yang tertentu untuk menambahkan keelokan seni bunyi sesuatu bacaan, khususnya didalam bidang ilmu pembacaan Al-Quran.
Istilah “Tarannum”, “al-Maqaamat”, “al-Han” dan “al-Ghina”di sebut seiring dalam ilmu seni suara. Sebutan “Tarannum” dan “Maqamat” agak sinonim dan sering diguna pakai dalam ilmu seni pembacaan al-Quran. Istilah “Tarannum bi al-Quran” yang dipopularkan penggunaannya dan difahami oleh kebanyakan masyarakat di Nusantara, menunjukkan wujud hubungan erat dengan seni memperelokkan suara dalam pembacaan ayat-ayat suci al-Quran .

KELEBIHAN DAN KEPENTINGAN BERTARANNUM

Banyak hadith yang menggesa umat Islam membaca al-Quran dengan berlagu, antaranya ialah:
1. Abu Hurairah meriwayatkan bahawa Nabi s.a.w. bersabda:
عن أبى هريرة رضى الله عنه أنه كان يقول : قال رسوالله (ص) : لم يأذن الله بشئ أذن لبني أن يتغني بالقرءان.
2. Rasulullah s.a.w bersabda:
ليس منا من لم يتغن بالقرءان

Ertinya: Bukan dari kalangan kami mereka yang tidak mahu melagukan dengan bacaan Al-Quran.

3. Ibn Bathal menceritakan bahawa galakan membaca al-Quran secara berlagu itu disokong oleh hadith Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Abdul Alla dari Muammar dari Ibn Syihab yang berbunyi :
ما أذن لنبى فى الترنم فى القرءان

Dengan adanya qari-qari yang membaca al-quran secara berlagu dapat menambahkan lagi keseniaan dan keelokan membaca al-quran. Sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w.:
حسنوا القرأن بأصواتكم فإن الصوت الحسن يزيد القرأن حسنا.
Maksudnya:
“Perelokkanlah bacaan al-quran dengan suara kamu kerana suara yang elok itu lebih menambahkan keelokan al-Quran.”

Imam al-Tabari menjelaskan bahawa tarannum atau lagu itu tidak berlaku kecuali dengan suara yang membolehkan qari memperelok dan mengalunkan suaranya ketika membaca al-Quran.
Manakala Imam Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani menerangkan dalam kitabnya “Fadhail al-Quran”, bahawa membaca al-Quran secara berlagu sesuai dengan kehendak jiwa dan selaras dengan bentuk ragam ayat al-Quran itu sendiri.
Adalah difahamkan dari beberapa hadis sahih, bahawa sejarah tarannum bi al-Quran bermula sejak penurunan wahyu pertama di Gua Hira’ dan Rasulullah s.a.w sendiri membaca Al-Quran dengan baik,cantik dan elok. Baginda pernah menyuruh umatnya supaya membaca Al-Quran dengan bertaranum, bertazyin (kaedah bertarannum) dan bertahsin (kaedah mengelokkan suara).

3. KAITAN TAJWID, FASOHAH, TARANNUM DAN SUARA

Zaid bin Thabit RA telah menyebutkan bahawa Nabi Muhammad s.a.w bersabda yang bermaksud: Sesungguhnya Allah menyukai seseorang membacakan Al-Quran itu sebagaimana ia diturunkan. Menurut hukum, bahawa membaca Al-Quran secara bertajwid itu adalah wajib dan diberi pahala bagi pembacaanya, manakala pembacaan tanpa tajwid secara bacaan yang salah adalah berdosa.

Setelah mendalami ilmu tajwid, secara tidak langsung pembacaan ayat Al-Quran akan menjadi lebih jelas, sempurna dan fasih mengikut lahjah-lahjah Arabiah dan lahjah Quraniah yang ditetapkan dalam bidang fasohah sekaligus akan menyelaraskan rentak-rentak (tartil, tadwir, tahdir) yang menjadi sebahagian dari fasohah.
Setelah bidang fasohah dikuasai, nescaya seseorang itu akan dapat melagukan bacaan ayat Al-Quran mengikut kaedah suara yang dipelbagaikan bunyinya mengikut proses nada, rentak dan irama yang tertentu untuk menambahkan keelokan seni bunyi sesuatu bacaan, khususnya bacaan Al-Quran.

Imam al-Ghazali menyatakan bahawa pembaca al-quran yang baik itu bukan saja lidahnya menyebut kalimah-kalimah al-quran dengan betul, bahkan akalnya juga mentadabburkan makna dan memahami pengertiannya, sementara perasaannya turut sama menghayati tuntutan al-quran tersebut dan jiwanya khusyuk kepada Allah Taala. .

PERSEMBAHAN TARANNUM YANG BERKESAN

Pembacaan yang mantap dan persembahan tarannum yang berkesan sangat diimpikan oleh seorang qari dan qariah serta pencinta seni al-Quran.Pakar-pakar tarannum di dalam dan luar negara sentiasa berusaha menggembelingkan tenaga ke arah pemantapan seni tarannum al-quran agar ia dialunkan menepati kehendak bacaan yang diamalkan oleh Rasulullah SAW , para sahabat dan tabi’en serta generasi selepasNya.
Kaedah talaqqi dan musyafahah daripada guru yang mutqin dan mahir adalah merupakan kaedah pertama dan utama untuk menyebarkan pembacaan Kalam Allah walaupun dewasa kini kita dibanjiri oleh ledakan kemajuan ICT . Ia tidak boleh menggantikan guru dalam memberi tunjuk ajar yang berkesan.
Dalam usaha memantapkan pembelajaran dan penguasaan tarannum tidak boleh menolak secara total terhadap segala inisiatif yang lebih moden dalam pengajaran al-Quran melalui media elektronik. Rancangan Mari Bertarannum yang disiarkan di tv9 merupakan salah satu daripada usaha murni untuk mendidik generasi cilik cara mengasah bakat membaca al-Quran dengan alunan tarannum yang pelbagai. Lebih istimewa lagi apabila proses mentahsinkan suara diajar dengan latihan vocal .
Tuan Hj. Nik Jaafar bin Nik Ismail, seorang pakar tarannum terkemuka tanah air menggariskan beberapa perkara penting mesti difahami oleh seseorang qari dalam usaha mencapai tahap penguasaan tarannum yang berkesan. Perkara-perkara penting tersebut ialah sebagaimana berikut ;

1. Memahami ilmu- ilmu Tahsin al-Saut (memperelokkan suara), ilmu tajwid, ilmu ketartilan bacaan, fasohah dan ilmu tarannum.
Memperelokkan suara dalam pembacaan al-Quran mempunyai kaitan yang amat rapat dalam penguasaan tarannum yang mantap. Seseorang qari mesti mengenal sifat-sifat suara yang dimiliki bagi menyesuaikan tobaqat qarar, nawa, jawab dan jawabul jawab. Persembahan tarannum yang berkesan dan mantap akan lebih terserlah jika suara dialunkan menepati kesemua tingkatan-tingkatan suara tersebut termasuklah tobaqat suara yang paling tinggi iaitu suara mustar atau otak.
Pembacaan al-Quran secara bertajwid adalah fardu ain bagi setiap orang Islam terutamanya seorang qari atau qariah. Seseorang qari semestinya mendalami ilmu tajwid demi memelihara lidah dari kesalahan jaliy dan khafiy semasa membaca kalam Allah. Ia juga bertujuan menyelamatkan seorang qari daripada tersasar dalam menyebut makharij al-huruf dan sifat-sifatnya.

Imam Ibnu Jazari menyatakan dalam puisi kitabnya :

والأخذ بالتجويد حتم لازم من لا يجود القرءان ءاثم
Maksudnya: Mengamalkan tajwid itu suatu kewajipan , kerana berdosa tidak memperelokkan bacaan.

Kemampuan membaca Al-Quran dengan tartil dan fasih adalah tidak kurang pentingnya bagi seseorang qari. Ketartilan pada setiap persembahan amat dititikberatkan bagi memenuhi piawaian tilawah yang berkualiti tinggi sehingga memberi keinsafan kepada pembaca dan pendengar dalam menghayati maksud ayat ,bahkan ia adalah tuntutan daripada Allah SWT sebagaimana firman Nya:

﴿ وَرَتِّلِ القُرءَانَ تَرتِيلاً ﴾
Maksudnya: “Bacalah Al-Quran itu dengan tartil. ”

) اِقرَاهُ عَلىَ تَمَهُّلٍ فَاِنَّهُ يَكُونُ عَونًا عَلَى فَهمِ القُرآنِ وَتَدَبُّرِهِ (
Maksudnya: “Bacalah dengan perlahan dan hati-hati kerana hal itu akan membantu pemahaman serta tadabbur terhadap Al-Quran.”

Ulama’ telah bersepakat bahawa ayat ini merupakan dasar pokok yang memerintahkan Al-Quran dibaca dengan berhati-hati sehingga baik pengucapannya serta memenuhi ketentuan hukum bacaan, perintah mana yang mengandungi hukum wajib.
Ironinya, keempat-empat cabang ilmu ini amat berkait rapat di antara satu sama lain yang melahirkan kombinasi korikulum bersepadu yang mantap. Hasilnya tergubal sistem pemarkahan dan penghakiman tilawah al-quran di Malaysia bagi menilai setiap kategori ini secara sistemetik demi memartabatkan persembahan tarannum yang berkualiti tinggi sesuai dengan kemuliaan mukjizat terunggul.

2. Memahami Fungsi Tarannum Bi al-Quran.
Setiap tarannum mempunyai fungsinya yang tersendiri, ianya terbahagi kepada dua kategori bagaimana berikut:-
1. Tarannum-tarannum yang berfungsi dengan sendiri tanpa bergantung kepada tarannum lain iaitu seperti tarannum Bayati, tarannum Husaini, tarannum Kurdi, tarannum Saba, tarannum Hijaz, tarannum Nahwand, tarannum Rast, tarannum Sikah, dan tarannum Jiharkah.
2. Tarannum-tarannum yang kurang berfungsi dengan sendiri tetapi lebih sesuai menumpang lain-lain tarannum seperti tarannum Iraqi, tarannum ‘Ajami, tarannum Nawa asar atau tarannum ‘Ushaq dan tarannum Syuri.
Tarannum tersebut kurang popular, hanya dapat diminati dan dihayati oleh qari-qari yang mempunyai kepakaran sahaja seperti As-Sheikh Muhammad Rifa’t, As-Sheikh Taha Af-Fashni, As-Sheikh Mustafa Ismail dan sebagainya, kerana ia lebih berfungsi sebagai tarannum selingan atau sebagai wuslah kepada mana-mana persembahan bacaan untuk menambahkan kecanggihan tarannum.


MEMAHAMI CARA PENGHAKIMAN TILAWAH AL-QURAN

Bagi melahirkan penguasaan tarannum yang berkesan, seseorang qari juga perlu mengetahui kaedah penilaian dan perkara-perkara yang dititikberatkan oleh jemaah hakim semasa penghakiman. Ia adalah sebagaimana berikut.
Markah-markah dibahagikan seperti berikut:

a) Tajwid - 40 markah
b) Lagu - 25 markah
c) Suara - 15 markah
d) Fasohah - 20 markah

 Tajwid (40 markah)

i. Menjaga segala hukum tajwid dengan sempurna terutama mengenai perkara-perkara yang dihuraikan selanjutnya.
ii. Menyebut dengan betul setiap makhraj huruf seperti: sod (ص), dod (ض), to(ط), zo (ظ), fa’(ف), qafق) (dari segi tebal dan nipisnya.
iii. Menjaga hukum-hukum tarqiq dan tafkhim terutama pada huruf lamل) ( dan ra’ر)).
iv. Mad Asli (Mad Tabi’i) dan Mad Badal tetap dengan kadar panjang 2 harkat.
v. Pada Mad Munfasil boleh dibaca dengan 2 atau 4 atau 5 harakat.Setiap pembaca boleh memilih salah satu daripada wajah yang empat itu. Sekiranya ia memilih salah satu daripadanya hendaklah ia meneruskan bacaannya di atas wajah itu tanpa berpindah ke wajah yang lain. Sekiranya terdapat dalam suatu ayat 2 Mad Munfasil atau lebih maka hendaklah disamakan kadar panjang mad itu, iaitu jika dibaca dengan 2 harakat pada mad Munfasil pertama, maka hendaklah dibaca dengan 2 harakat juga pada Mad Munfasil kedua, demikian seterusnya. Pada Mad Muttasil bolehlah dibaca dengan kadar panjang 4 harakat atau 5 harakat atau 6 harakat ketika waqaf.
vi. Mad Lazim Kalimi dan Harfi Muthaqqal begitu juga Mad Istifham hendaklah panjang bacaannya dengan kadar 6 harakat.
vii. Mad Arid dibaca dengan kadar 2 atau 4 atau 6 harakat ketika waqaf sahaja.
viii. Mad Silah hendaklah dibaca dengan kadar panjang 2 harakat. Tetapi sekiranya selepas Mad Silah terdapat sebab (yakni Hamzah) hendaklah dibaca dengan Qasar, Tawassut dan Isyba’. Dengan itu ia termasuk di dalam bab Mad Munfasil.
ix. Ghunnah dibaca dengan kadar 2 harkat sama ada ia di dalam keadaan waqaf atau wasal.
x. Bagi musabaqah peringkat kebangsaan riwayat yang dijadikan asas pegangan ialah Riwayat Hafas.

 Tarannum (25 markah)

i. Menggunakan maqam-maqam Arab (irama lagu Arab) dengan sekurang-kurangnya empat jenis lagu di dalam satu-satu bacaan, tanpa mengira lagu apa yang dimulakan.
ii. Setiap lagu (maqam atau nughmah) hendaklah disempurnakan secara teratur dan beransur-ansur (tadriji) sekurang-kurangnya empat harakat.
iii. Setiap lagu (maqam atau nughmah) hendaklah dibawa dalam tiga tingkatan (tobaqat) suara, iaitu rendah, sederhana dan tinggi.
iv. Lagu (maqam) yang dibawa pada ayat yang akhir hendaklah sama dengan lagu yang dibawa pada ayat pertama.
Peringatan:
Lagu yang dianggap istimewa ialah lagu yang mengandungi ciri-ciri berikut:
i. Setiap lagu yang dibawa mengandungi lebih dari empat harakat yang teratur dan tersusun.
ii. Sesuatu lagu dianggap teristimewa sekiranya lagu itu mempunyai unsur tersendiri tanpa meniru sepenuhnya bacaaan qari yang masyhur.
iii. Dapat menyesuaikan lagu dengan kehendak makna ayat tanpa lari dari kaedah tajwid dan usul.
iv. Membawa bunga-bunga lagu yang menarik.
v. Dapat mengawal lagu sepenuhnya ketika nyaring dan perlahan (tinggi, rendah, dan sederhana).
vi. Menambah lagi beberapa lagu lain selain daripada lagu-lagu wajib, dengan tidak melebihi tempoh bacaan yang ditentukan.
vii. Menggunakan empat (nughmah) di dalam bacaan.

 Suara (15 markah):
i. Bersih (kebersihan suara).
ii. Licin dan lancar (kelicinan suara).
iii. Terang, nyata dan lantang (suara yang keluar dengan nyata dan jelas serta lantang).
iv. Suara yang tidak berubah-ubah dari mula bacaan hingga ke akhirnya disebabkan tekanan suara turun naik semasa tengah membaca.

Peringatan:
Suara yang dianggap istimewa ialah suara yang mempunyai ciri-ciri berikut:
a) Suara yang indah merdu dan dapat menghidupkan renik-renik suara.
b) Suara yang licin dan lembut serta terang dan jelas semasa tekanan suara tinggi, rendah dan sederhana.
c) Penyesuaian suara: suara lelaki hendaklah sesuai dengan sifat-sifat kelelakiannya dan suara wanita sesuai dengan unsur-unsur kewanitaannya.
d) Dapat mengawal suara hingga kepada tiga tingkatan (tobaqat ).
e) Dapat mengawal dengan sepenuhnya alunan suara masa nyaring dan masa perlahan.
f) Suara bergerak dan hidup.

 Fasohah (20 markah):
Kesempurnaan fasahah tercapai dengan perkara-perkara berikut:
i. Cermat dan halus dalam bacaaan serta fasih dalam sebutan.
ii. Lancar menyebut perkataan-perkataan dan ayat-ayat.
iii. Terpelihara segala harkah (baris) dan tasydid.
iv. Betul melakukan tempat waqaf dan ibtida’ termasuk Jibril dan Nabawi.
v. Bacaan menurut lahjah Arab Fasaha.
vi. Bacaan sederhana tidak terlalu cepat atau terlalu lambat.

Berpandukan tulisan Tuan Hj. Nik Jaafar bin Nik Ismail, keempat-empat bidang ilmu ini dihuraikan dengan panjang lebar bagi seseorang qari dan pencinta seni tarannum al-Quran agar dapat difahami secara mendalam dan mempraktikkan dalam persembahan tarannum .


PENYUSUNAN TARANNUM YANG BERKESAN
Untuk menyusun tarannum yang hendak dipersembahkan perlulah diambil kira perkara-perkara berikut:-
1. Hendaklah terlebih dahulu memilih jenis-jenis tarannum yang bersesuaian.
Contohnya : Tarannum Bayati dan Husaini.
1.1 Sifat-sifat Tarannum Bayati
 Tarannum Bayati ini mempunyai ciri-ciri dan sifat-sifatnya yang tersendiri, iaitu :
 Mempunyai gerak lembut dan tegas.
 Sesuai dengan tabi’i rendah dan sederhana.
 Sesuai sebagai tarannum pembukaan dan penutup.

1.2 Peranan Harakat Bayati
 Untuk mempelbagaikan corak dan bunyi.
 Untuk memberi tenaga dan peningkatan yang sesuai.
 Untuk memberi pengukuran kepada lagu yang akan dibaca seterusnya.
Lagu-lagu Bayati ini amat menarik dengan sifatnya yang halus dan lembut, sesuai dengan keadaan orang-orang Mesir yang berada di Lembah Nil. Peranannya dapat menenangkan jiwa orang yang mendengarnya.
1.3 Sifat Tarannum Husaini

 Mempunyai gerak cergas dan tegas.
 Mempunyai kesesuaian dengan tabaqah yang lebih tinggi
1.4 Peranan Tarannum Husaini
Tarannum Husaini mempunyai peranannya yang tertentu iaitu:
 Memberi tenaga kepada persembahan bacaan yang agak lembab dan lemah.
 Menjadi penggerak semangat kepada harakat-harakat yang berikut.
 Memberi kepuasan kepada pembaca dan pendengar.

1.5 Mengenal Harakat Husaini :

 Harakat Husaini biasanya bersambung kepada harakat Bayati.
 Harakat Husaini diwasalkan kepada harakat Bayati.
 Harakat Husaini juga boleh dibaca dan disusun secara berasingan.

2. Penukaran satu tarannum kepada satu tarannum yang lain, hendaklah cermat dan canggih, termasuklah sistem wuslah dan sebagainya.
3. Penyusunan dari satu tarannum kepada satu tarannum yang lain hendaklah dipertingkatkan kecermatannya, kehangatannya, kecanggihannya dan sebagainya.
4. Tarannum penutup hendaklah sama dengan tarannum permulaan.

MENGENAL KATEGORI TARANNUM AL-QURAN
Setiap tarannum mempunyai kategorinya yang tertentu sepertimana berikut:-
1. Kategori lembut seperti tarannum Jiharkah, Iraqi, Nahwand dan Saba.
2. Kategori sederhana seperti tarannum Bayati, Husaini, Rast, Sikah, ‘Usshaq dan Syuri.
3. Kategori keras dan tegas seperti tarannum ‘Ajami, Hijjaz dan Kurdi.
Jika seseorang qari mengenal kategori tersebut, ia boleh membantu menyenangkan penyusunan tarannum ke dalam suatu persembahan dengan lebih tepat dan lebih berkesan lagi.

PENYUSUNAN HARAKAT LAGU YANG BERKESAN
Harakat-harakat tarannum itu hendaklah disusun secara sistematik supaya persembahan lebih berkesan. Antara teknik penyusunan yang digunakan ialah:-
1. Harakat-harakat yang dialunkan adalah cermat, mempunyai ciri menghangatkan persembahan serta menggunakan harakat yang canggih.
2. Harakat yang dihiasi dengan alunan lahjah arab dan gabungan lagu-lagu cabang serta gerak suara pelbagai seperti gaya Iraqi, Kurdi dan Syuri, nakriz, bustanjar, kuflah mahur, usysyaq, zinjiran dan mayyah.
3. Harakat yang dihiasi dengan wuslah iaitu gabungan dua bunyi atau lebih dari mana-mana angin lagu dalam satu harakat.
4. Harakat yang mempunyai salalim, iaitu harakat-harakat yang dialunkan mengikut sistem tangga menurun atau menaik.
5. Harakat yang mempunyai Ikhtilalulahni, iaitu harakat-harakat yang dialunkan dengan nada suara yang disumbangkan sama ada secara menurun atau mendaki.
Harakat-harakat tersebut perlu disusun secara sistematik dan menarik. Persembahan yang tidak menepati teknik-teknik di atas akan menyebabkan kecacatan dan melencong dari sasaran sebenar yang akan dicapai. Latih tubi yang berterusan dengan cara talaqqi dan musyafahah akan memberi keberkesanan mendalam terhadap satu-satu persembahan bacaan.

PENGUKUHAN DAN PEMANTAPAN PERSEMBAHAN TARANNUM

Seorang sarjana dalam bidang Al-quran telah menampilkan lima tahap proses pembelajaran secara berskala untuk memantapkan penguasaan persembahan tarannum secara berkesan dan sempurna, sebagaimana berikut ;

ASPEK TARANNUM
Tahap 1 : Proses mengenal tujuh alunan tarannum dengan konkrit dan berkonsisten, tanpa timbul lagi perasaan ragu-ragu terhadap bunyi atau melodi tarannum tersebut.

Tahap 2 : Proses memasang lagu-lagu tarannum dengan teratur dan tersusun mengikut keutamaan berdasarkan kepada teknik pengolahan, pengurusan, perimbangan dan lain-lain.

ASPEK SUARA

Tahap 3 : Proses membetulkan cara pengendalian, pengurusan, pengolahan suara serta kedudukan suara yang tepat pada bacaan dan juga sebutan huruf.

ASPEK TARANNUM DAN SUARA (GABUNGAN)
Tahap 4 : Proses menyambung lagu-lagu tarannum usul dengan furu', malakukan gerak sumbang suara, kemahiran membuat qitaah, menyusun burdah sama ada burdah kasar atau halus, jarang atau kerap, mempelbagaikan gaya dan alunan dalam sesebuah jumlah harakat dan melatih bacaan berlahjahkan arabiah.

Tahap 5 : Ialah proses membentuk bacaan yang lembut, cergas, tegas dan sempurna dari awal hingga akhir.

Oleh kerana itu, seseorang yang ingin belajar tarannum dengan berkesan, mestilah melalui 5 tahap yang disebutkan dan melalui latihan yang berterusan.

TEKNIK PEMBAYANG LAGU ATAU MAQAM TARANNUM
Mohd Ali bin Abu Bakar (1997 ) mengemukakan teknik pengukuhan persembahan tarannum dengan mengggunakan seni kata pembayang daripada syair-syair arab. Haji Qasim bin Haji Ahmad,qari dari Kedah telah menyusun panduan bertarannum menggunakan seni kata nasyid,berzanji dan marhaban sebagai pembayang untuk diterapkan dalam persembahan. Seseorang qari akan cuba menghayati irama, rentak dan nada berbantukan bait-bait syair ini untuk diterapkan dalam persembahan tarannum tertentu. Di antara bait-bait tersebut yang ialah :
1. Maqam tarannum nahawand

بيد العفى فى أقول عن حجابى # وبغفلات اسمو على أشرابى
وبفكرات وقادات وقريحات # وقادات قد كملت أثابى
2. Maqam Tarannum Rast
يا رب قد فسد الزمان فنجنى
يا رب قلت حيلتى فتولنى
يا رب من كل الصائب عفينى
يا رب قد عجز الطبيب قد اويني
بحق لطفك شفينى يا شافى

3. Maqam Tarannum Hijaz

يا رحمة الله إنى خائق وجل # يا رحمة الله إنى مقلس عالى
وليس لىعمل ألقى العليم به محبتك العظمى وإيمانى

4. Maqam Taranum Sikah)
صلى من أشكر رامن # يا نورا النجود يا محمد
وأرى والعمر واللاء # جاد بالوصل جاد

PEMANTAPAN LAGU CABANG

Seorang qari yang mahir dalam selok belok lagu dan tarannum bukan sahaja dapat mempersembahkan lagu asas mengikut rentak dan irama tertentu, tetapi mampu menguasai lagu-lagu cabang. Menurut Tuan Hj. Nik Jaafar bin Nik Ismail , terdapat lebih tiga ratus cabang lagu lain yang boleh diselitkan dalam persembahan lagu asas.
Mohd Ali bin Abu Bakar(1997) cuba menyusun bai-bait seni kata pembayang bagi maqam lagu Nkris dan Usysyaq sebagaimana berikut.
(1) Maqam Lagu Nakriz
Cawangan dari lagu nahwand
يناك بحر عتئ البيان # فهلل وبشر بدين الإله
نبي الهدى أنت نبع الضياء # نبي الهدى أنت سيف السماء


(2) Maqam Lagu Usyshaq
Dari lagu nahawand
محمد يا فرحة العلمين # محمدا يا كوكب الائرين
ضللنا فهات الهدى واليقين # وأشرق فإنا غدونا سكارى
وصلينى ربنا وسلمن على محمد # جاءنا مبشرا بالعلى
والتبعين لهم أولى الهى الكرماء.

KAEDAH LATIH TUBI YANG BERTERUSAN

Dalam usaha memantapkan suatu persembahan taraannum, seorang qari perlu menjalani latihan-latihan berterusan mengikut potongan ayat atau surah yang pelbagai. Latih tubi tersebut perlu mengambil kira perkara-perkara berikut :
1- Latihan mempersembahkan bacaan pada ayat-ayat pilihan ujian tilawah dengan mempraktikkan ke semua jenis lagu dan dihiasi dengan wuslah al-mumathalah, ikhtilal al-lahn, salalim nuzul dan su’ud serta mahattah yang canggih .
2- Latihan mempersembahkan bacaan pada ayat-ayat yang dimulakan dengan huruf muqatho’ah dan diwakafkan dengan Mad Asli atau Mad Far‘i menerusi susunan lagu yang pelbagai.
3- Latihan mempersembahkan bacaan pada ayat-ayat yang diwakafkan dengan Ta Marbutoh menerusi susunan Bayati, Saba, Hijjaz, Nahwand dan Rast.
4- Latihan mempersembahkan bacaan pada ayat-ayat yang mengandungi bacaan khusus bagi riwayat Hafs seperti bacaan imalah, tashil dan ibdal, isymam dan ikhtilas ,saktah, bacaan naqal dan silah .
5- Latihan mempersembahkan bacaan pada ayat-ayat yang mengandungi Mad Lazim Kalimi Muthaqqal, Harfi Muthaqqal serta Mad Istifham yang memerlukan kadar panjang bacaannya dengan 6 harakat.

Latihan-latihan pengukuhan dan pemantapan seperti ini diharapkan dapat memberikan natijah yang terbaik bagi setiap qari dan qariah demi melahirkan generasi quranik yang berkualiti tinggi, mahir dari sudut tajwid dan fasohah, memiliki nafas yang panjang dan mampu mengalunkan alunan suara berlahjah Arab.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dirumuskan bahawa seseorang qari yang berhasrat menguasai persembahan tarannum al-Quran yang berkesan sewajarnya menitikberatkan beberapa perkara berikut :

1- Berusaha sedaya upaya untuk memnguasai kaedah sebutan kalimah-kalimah dan mahir menggabungkan kalimah tersebut dalam potongan ayat al-Quran mengikut lahjah Arab.
2- Mendalami ilmu tatabahasa Arab dan merujuk guru-guru yang memahami bahasa al-Quran supaya menepati kehendak bacaan pada wakaf dan ibtida’.
3- Menerapkan tarannum yang sesuai dengan pengisian harakat yang canggih berdasarkan kefahaman pada maksud kalimah dan potongan ayat yang akan dipersembahkan.
4- Memastikan susunan tarannum yang rapi dan tingkatan suara yang bersesuaian dengan kemampuan nafas yang dimiliki.
5- Menghiaskan setiap harakat tarannum dengan pengisian ikhtilal, salalim, dan burdah yang berkualiti dalam usaha mencapai persembahan yang bermutu tinggi dan mencuit jiwa pendengar.
6- Sentiasa menjalani latih tubi yang berterusan di samping merujuk guru-guru dan pakar tarannum secara talaqqi dan mushafahah bagi mendapat gubahan seni yang terkini dan kontemporari kerana sifat suatu seni itu sentiasa maju dan berubah-ubah.









BIBLIOGRAFI

1. Al-Quran al-Karim

2. Al-Hadith al-Syarif.

3. Sedek Ariffin (2009).Jurnal Darul Quran JAKIM : Kepentingan Talaqqi dan Musyafahah Dalam Pembacaan Al-Quran. Disember 2009 . bil. Ke 13. Melaka: Percetakan Surya Sdn.Bhd.

4. Jabatan Kemajuan Islam Malaysia, Kurikulum Sijil Tinggi Tarannum Al-Quran, Cet Pertama 2007. Selangor: Salwa tegap Niaga.

5. Hj Nik Jaafar Nik Ismail, (2009), Buku Qaedah Tarannum ( Cara Berlagu, Darul Fikr, Kuala Lumpur.

6. Mohd Ali Bin Abu Bakar, (1997), Seni Lagu Al-Quran Di Malaysia, Darul Fikir, Kuala Lumpur.
7. Muhammad Al-Ghazali, ( 1996 ), Bagaimana Berinteraksi Dengan Al-Quran Penerjemah Muhammad Rivai Batubara, Selangor : Budaya Ilmu Sdn.Bhd.
8. Abu Mardhiyah,( 2004),Tajwid al-Quran. Cetakan Pertama ,Kuala Lumpur: Perniagaan Normahs

9. Haji Qasim bin Haji Ahmad (t.t) Risalah Panduan Tarannum bi al-Quran, Kedah.
10. http://mytarannum.blogspot.com/

11. http://pcbukm.blogspot.com/2009/10/tahap-tahap-pembelajaran-ilmu- tarannum.html

12. Nota-nota Kuliah Pengajaran STTQ 2010. ILIM Bangi.
Dalil Dibenarkan Bertawassul.

Di antara dalil utama adalah firman Allah SWT: Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah yang boleh menyampaikan kepada-Nya. (al-Maaidah: 35)

Wasilah dalam ayat ini adalah semua yang dijadikan oleh Allah sebagai sebab untuk mendekatkan diri di sisi-Nya dan penghubung atau penyampai kepada terlaksananya segala hajat daripada-Nya.

Paksi dalam perkara ini, hendaklah orang yang diwasilahkan itu mempunyai kedudukan dan kemuliaan di sisi Allah.

Lafaz wasilah dalam ayat ini berbentuk umum. Sebagaimana yang dapat dilihat, ia meliputi bertawassul dengan zat-zat yang mulia daripada kalangan para nabi dan orang-orang soleh; sama ada ketika mereka hidup atau pun setelah mati, dan juga dengan mengamalkan amalan-amalan soleh mengikut sebagaimana suruhan-Nya, dan bertawassul dengannya setelah melakukannya.

Seterusnya, kita akan meninjau hadis-hadis dan athar-athar yang akan membuka kepada kita maksud ayat yang umum ini dengan jelas. Maka dengarilah dan kita akan menjadi saksi terhadap kebenarannya.

Kita akan lihat, bahawa telah thabit hukum bertawassul dengan Baginda SAW; sebelum dan selepas kewujudannya di dunia, selepas kewafatannya di alam barzakh, dan selepas kebangkitannya di Padang Mahsyar pada hari kiamat.

Rujukan: PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA, NEGERI SEMBILAN


Tawassul Nabi Adam kepada Nabi Muhamad s.a.w.

Telah diriwayatkan dalam hadith bahawa nabi Adam pernah bertawassul kepada nabi Muhamad s.a.w. Berkata al-Hakim di dalam al-Mustadrak: datipada Umar r.a. berkata Rasulullah s.a.w. bersabda, " Setelah nabi Adam melakukan kesilapan di berkata: WahaiTuhanku tidaklah aku memohon kepada Mu demi hak Muhamad s.a.w, melainkan Engkau mengampunkan aku. Maka Allah berfirman, Wahai Adam! Bagaimanakah engkau mengenali Muhamad, sedang aku belum menciptanya lagi? Adam a.s. berkata, Wahai Tuhan setelah Engkau menciptakan aku dengan kekuasaanMu dan setelah Engkay meniup padaku ruh ( ciptaanMu , maka aku mengangkat kepala, lalu aku terlihat di tiang-tiang Arasy,tertulis kalimah: لا إله إلا الله محمدرسول الله

Dengan itu aku mengerti bahawa Engkau tidak akan meletakkan di sisi namaMu kecuali nama makhluk yang Engkau kasihi. Allah berfirman kepadanya, benarlah Engkau wahai Adam. Sesungguhnya dia adalah makhluk yang paling aku kasihi. Serulah aku dengan haknya, maka Aku ampunkan bagi kamu. Jika tidak keranaMuhamad, aku tidak akan menciptamu.

Rujukkan: al-Mustadrak,( Kitab Tarikh; jld 2, H:615 ).

Wednesday, December 1, 2010

Puasa-puasa Sunat Yang Digalakan

1) Puasa 6 hari dibulan syawwal

Berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari bahwa Raulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“barangsiapa yang berpuasa ramadhan, lalu menyambungnya dengan enam hari dibulan syawwal,maka dia seperti berpuasa sepanjang tahun.” (HR.Muslim: 1164 )

Hadits ini merupakan nash yang jelas menunjukkan disunnahkannya berpuasa enam hari dibulan syawwal. Adapun sebab mengapa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam menyamakannya dengan puasa setahun lamanya, telah disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah bahwa beliau berkata:

“berkata para ulama: sesungguhnya amalan tersebut sama kedudukannya dengan puasa sepanjang tahun,sebab satu kebaikannya nilainya sama dengan sepuluh kali lipat, maka bulan ramadhan sama seperti 10 bulan,dan enam hari sama seperti dua bulan.” (Syarah Nawawi:8/56)

Hal ini dikuatkan dengan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

صيام شهر رمضان بعشرة أشهر وصيام ستة أيام بشهرين فذلك صيام سنة

“berpuasa ramadhan seimbang dengan sepuluh bulan,dan berpuasa enam hari seimbang dengan dua bulan,maka yang demikian itu sama dengan berpuasa setahun.” (HR.Nasaai dalam Al-kubra (2860),Al-Baihaqi (4/293),dishahihkan Al-Albani dalam Al-Irwa’ (4/107).

2) Puasa Isnin dan Khamis

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Qatadah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa pada hari senin? Maka beliau menjawab:

ذَاكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فيه وَيَوْمٌ بُعِثْتُ أو أُنْزِلَ عَلَيَّ فيه

“itu adalah hari yang aku dilahirkan padanya,dan aku diutus,atau diturunkan kepadaku (wahyu).” (HR.Muslim:1162)

Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan yang lainnya dari Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya tentang puasanya Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam, maka beliau menjawab:

وَكَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ

“adalah beliau senantiasa menjaga puasa pada hari senin dan kamis” (HR.Tirmidzi (745),Ibnu Majah:1739,An-Nassai (2187),Ibnu Hibban (3643).dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Ibnu Majah)

Juga diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari senin dan kamis. Lalu ada yang bertanya: sesungguhnya engkau senantiasa berpuasa pada hari senin dan kamis? Beliau menjawab:

تُفَتَّحُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ يوم الإثنين وَالْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ فِيهِمَا لِمَنْ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شيئا إلا الْمُهْتَجِرَيْنِ يُقَالُ رُدُّوا هَذَيْنِ حتى يَصْطَلِحَا

“dibuka pintu-pintu surga pada hari senin dan kamis,lalu diampuni (dosa) setiap orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun,kecuali dua orang yang saling bertikai,dikatakan: biarkan mereka berdua sampai keduanya berbaikan.” (HR.Tirmidzi (2023),Ibnu Majah (1740),dan dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi dan Ibnu Majah)

3) Puasa Daud Alaihissalam

Berdasarkan hadits yang datang dari Abdullah bin Amr bin ‘Al-Ash radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda

أَحَبُّ الصِّيَامِ إلى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كان يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إلى اللَّهِ صَلَاةُ دَاوُدَ كان يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ

“Puasa yang paling dicintai Allah Ta’ala adalah puasa Daud,beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.Dan shalat yang paling dicintai Allah adalah shalatnya Daud,beliau tidur dipertengahan malam,lalu bangun (shalat) pada sepertiga malam,dan tidur pada seperenamnya.” (HR.Bukhari :3238,dan Muslim:1159)

Dalam riwayat lain Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

لَا صَوْمَ فَوْقَ صَوْمِ دَاوُدَ عليه السَّلَام شَطْرَ الدَّهَرِ صُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا

“Tidak ada puasa (yang lebih utama) diatas puasa Daud Alaihisssalam,setengah tahun,berpuasalah sehari dan berbukalah sehari.” (HR.Bukhari: 1879,Muslim:1159)

4) Puasa tiga hari dalam sebulan

Berdasarkan hadits Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berkata kepadanya:

وَإِنَّ بِحَسْبِكَ أَنْ تَصُومَ كُلَّ شَهْرٍ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فإن لك بِكُلِّ حَسَنَةٍ عَشْرَ أَمْثَالِهَا فإن ذلك صِيَامُ الدَّهْرِ كُلِّهِ

“ Dan sesungguhnya cukup bagimu berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,karena sesungguhnya bagimu pada setiap kebaikan mendapat sepuluh kali semisalnya,maka itu sama dengan berpuasa setahun penuh.” (HR.Bukhari:1874,Muslim:1159)

Juga diriwayatkan oleh Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau ditanya oleh Mu’adzah Al-Adawiyyah: apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam senantiasa berpuasa tiga hari dalam setiap bulan? Maka beliau menjawab: iya.Lalu ditanya lagi: pada hari yang mana dari bulan tersebut? Beliau menjawab:

لم يَكُنْ يُبَالِي من أَيِّ أَيَّامِ الشَّهْرِ يَصُومُ

“beliau tidak peduli dihari yang mana dari bulan tersebut ia berpuasa.” (HR.Muslim:1160)

Juga dari hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

أَوْصَانِي خَلِيلِي e بِثَلَاثٍ صِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ من كل شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قبل أَنْ أَنَامَ

“Teman setiaku Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memberi wasiat kepadaku untuk berpuasa tiga hari dalam setiap bulan,mengerjakan shalat dua raka’at dhuha,dan agar aku mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur.” (HR.Bukhari:1180)

Hadits ini menjelaskan bahwa diperbolehkan pada hari yang mana saja dari bulan tersebut ia berpuasa,maka ia telah mengamalkan sunnah.Namun jika ia ingin mengamalkan yang lebih utama lagi,maka dianjurkan untuk berpuasa pada pertengahan bulan hijriyyah, yaitu tanggal 13,14 dan 15. Hal ini berdasarkan hadits yang datang dari Abu Dzar radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

يا أَبَا ذَرٍّ إذا صُمْتَ من الشَّهْرِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلَاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“wahai Abu Dzar,jika engkau hendak berpuasa tiga hari dalam sebulan,maka berpuasalah pada hari ketiga belas,empat belas dan lima belas.” (HR.Tirmidzi:761,An-Nasaai:2424,ahmad:5/162,Ibnu Khuzaimah: 2128,Al-Baihaqi: 4/292.Dihasankan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’:4/101-102)

Puasa tiga hari dipertengahan bulan ini disebut dengan hari-hari putih. Dalam riwayat lain dari hadits Abu Dzar radhiallahu’anhu,beliau berkata:

أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ e أَنْ نَصُومَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاثَةَ أَيَّامِ الْبِيضِ ثَلاثَ عَشْرَةَ وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ

“Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memerintah kami untuk berpuasa tiga hari-hari putih dalam setiap bulan:13,14 dan 15.” (HR.Ibnu Hibban:3656)

disebut sebagai “hari-hari putih” disebabkan karena malam-malam yang terdapat pada tanggal tersebut bulan bersinar putih dan terang benderang. (lihat:fathul Bari:4/226)

Yang lebih menunjukkan keutamaan yang besar dalam berpuasa pada hari-hari putih tersebut, dimana Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan amalan ini. Sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata:

كان رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم لا يَدَعُ صَوْمَ أَيَّامِ الْبِيضِ في سَفَرٍ وَلا حَضَرٍ

“adalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari putih,baik diwaktu safar maupun disaat mukim.” (HR.At-thabarani: ,dishahihkan Al-Albani dalam shahihul jami’:4848).

5) Puasa Arafah

Berdasarkan hadits Abu Qatadah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari arafah,Beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR.Muslim:1162)

Kecuali bagi mereka yang sedang wukuf di Arafah dalam rangka menunaikan ibadah haji,maka tidak dianjurkan berpuasa pada hari itu. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berbuka di Arafah,Ummul Fadhl mengirimkan segelas susu kepada beliau,lalu beliau meminumnya.” (HR.Tirmidzi: 750,dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

Juga diriwayatkan dari hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu bahwa beliau ditanya tentang hukum berpuasa pada hari Arafah di Arafah?,beliau menjawab”

حَجَجْتُ مع النبي e فلم يَصُمْهُ وَمَعَ أبي بَكْرٍ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فلم يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فلم يَصُمْهُ وأنا لَا أَصُومُهُ ولا آمُرُ بِهِ ولا أَنْهَى عنه

“aku menunaikan ibadah haji bersama Nabi shallahu ‘alaihi wasalam dan beliau tidak berpuasa pada hari itu,aku bersama Abu Bakar radhiallahu’anhu beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Umar dan beliau pun tidak berpuasa padanya,aku bersama Utsman dan beliau pun tidak berpuasa padanya. Dan akupun tidak berpuasa padanya,dan aku tidak memerintahkannya dan tidak pula melarangnya.” (HR.Tirmidzi:751.Dishahihkan Al-Albani dalam shahih Tirmidzi)

6)Puasa dibulan Muharram,khususnya Dihari ‘Asyura (10 Muharram)

Bulan Muharram adalah bulan yang dianjurkan untuk memperbanyak berpuasa padanya. Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bersabda:

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

“puasa yang paling afdhal setelah ramadhan adalah bulan Allah: muharram,dan shalat yang paling afdhal setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR.Muslim:1163)

Dan diantara hari-hari dibulan tersebut,lebih dianjurkan lagi berpuasa pada hari Asyura,yaitu tanggal 10 muharram. Banyak hadits-hadits yang menunjukkan sangat dianjurkannya berpuasa pada hari ‘Asyura. Diantaranya adalah hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:

كان رسول اللَّهِ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فلما فُرِضَ رَمَضَانُ كان من شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ

Adalah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam memerintahkan (perintah yang mewajibkan) puasa pada hari ‘Asyura. Maka tatkala telah diwajibkannya ramadhan,maka siapa yang ingin berpuasa maka silahkan dan siapa yang ingin berbuka juga boleh.” (HR.Bukhari:1897,Muslim: 1125)

Dalam riwayat Muslim dari hadits Abu Qatadah bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam ditanya tentang puasa pada hari ‘Asyura,maka beliau menjawab:

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ

“menghapus dosa setahun yang telah lalu.” (HR.Muslim:1162)

Dan juga dianjurkan berpuasa pada tanggal sembilan muharram,berdasarkan hadits Ibnu abbas radhiallahu’anhu bahwa beliau berkata: tatkala Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam berpuasa pada hari ‘Asyura dan memerintahkan untuk berpuasa padanya. Mereka (para shahabat) berkata:wahai Rasulullah,itu adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashara. Maka bersabda Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam : jika tiba tahun yang berikutnya,insya Allah kita pun berpuasa pada hari kesembilan. Namun belum tiba tahun berikutnya hingga Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam wafat.” (HR.Muslim:1134)

7) Puasa dibulan sya’ban

Diantara bulan yang dianjurkan memperbanyak puasa adalah dibulan sya’ban. Berdasarkan hadits Aisyah radhiallahu anha bahwa beliau berkata:

فما رأيت رَسُولَ اللَّهِ  اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إلا رَمَضَانَ وما رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا منه في شَعْبَانَ

“aku tidak pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam menyempurnakan puasa sebulan penuh kecuali ramadhan,dan aku tidak pernah melihat beliau berpuasa yang lebih banyak dari bulan sya’ban,” (HR.Bukhari:1868)

Kecuali pada hari-hari terakhir,sehari atau dua hari sebelum ramadhan ,tidak diperbolehkan berpuasa pada hari itu,terkecuali seseorang yang menjadi hari kebiasaannya berpuasa maka dibolehkan,seperti seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis,lalu sehari atau dua hari tersebut bertepatan dengan hari senin atau kamis. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah shallahu ‘alaihi wasalam bahwa beliau bersabda:

لا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ ولا يَوْمَيْنِ إلا رَجُلٌ كان يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ

“Janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari,kecuali seseorang yang biasa berpuasa pada hari itu maka boleh baginya berpuasa. (HR.Muslim:1082)

Semoga Allah senantiasa menambah ilmu yang bermanfaat dan amal saleh kita yang senantiasa diterima disisi-Nya.

Rujukan: Al Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi Judul: Puasa-Puasa Sunnat