Friday, December 24, 2010

AL-QURAN

WAHYU PROGRESIF DAN KITAB KEMANUSIAAN SEJAGAT



1. Pendahuluan

Benarkah Al Quran itu wahyu Allah atau hanya hasil karya nabi Muhammad dan para juru tulisnya? Pertanyaan itu pernah dilontarkan oleh orang-orang Quraisy pada zaman Nabi, para sarjana Barat, dan bahkan orang-orang pada zaman ini. Umat Islam dengan keras menolak fahaman itu. Al Quran bukan merupakan rekaan Nabi dan para juru tulisnya. Nabi SAW tidak boleh membaca dan menulis. Rasulullah SAW sendiri pernah mengatakan bahawa Al Quran itu mukjizat baginya, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah: "Setiap rasul selalu dikaruniakan kemukjizatan, sehingga karenanya ummatnya akan mempercayainya. Tetapi mukjizat yang diturunkan Allah padaku adalah wahyu ilahi yang akan menjadikan jumlah pengikutku akan melampaui pengikut para rasul lainnya kelak di hari kiamat". Selain itu terdapat beberapa bukti kuat yang menyatakan bahwa Al Quran adalah benar-benar wahyu Allah. Bukti-bukti tersebut dinyatakan dalam Al Quran itu sendiri, yakni salah satu ayat yang berbunyi: "Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar wahyu (Allah) yang diturunkan kepada Rasul yang mulia ……Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan perkataan atas nama Kami, Kami pasti akan menindaknya dengan kekerasan……", (QS. 69:38-42; 10:37-38; 11:13-14; 2:23-24; 17:88).
Perbincangan ini coba membahaskan secara singkat kepada kebenaran Al Quran sebagai wahyu Allah yang progresif, sekaligus kitab manusia sejagat.

2. AL QURAN

2.1. Definisi
Kata Al Quran berasal dari kata kerja qara'a yang berarti membaca. Bentuk masdar-nya adalah qur'an yang bererti bacaan.(1) Al Quran mempunyai beberapa nama, yaitu Alkitab atau Kitab Allah (QS. 6:114), Al-Furgan yang berarti pembeda antara yang benar dan batil (QS. 25:1), Az-Zikr yang berarti peringatan (QS. 15:9), dan At-Tanzil yang berarti diturunkan (QS. 26:192). Selain itu, nama Al Quran adalah Al-huda (petunjuk), Ar-Rahman (kasih), Al-Majid (mulia), An-Nazir (pemberi peringatan). Imam as-Suyuti dalam bukunya al-Itqan fi?Ulum Al-Qur'an (tentang ilmu-ilmu Al Quran) juga menyebut beberapa nama, yakni Al-Mubin (penjelas), Al-Karim (yang mulia), Al-Kalam (firman Tuhan), dan An-Nur (cahaya).

Istilah qur'ân paling umum diterjemahkan sebagai "bacaan" atau "tilawah" (bacaan yang dilantunkan), dan telah dihubungkan secara etimologis dengan qeryânâ (bacaan Kitab Suci, bagian dari Kitab Suci yang dibacakan pada acara kebaktian) dalam bahasa Suriah, dan miqra' dalam bahasa Ibrani (pembacaan suatu kisah, Kitab Suci). Sebagian mufsir muslim juga berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari bentuk fuc?lân, qur'ân membawa maana " kesinambungan bacaan " atau "bacaan abadi", yang dibaca dan didengar berulang-ulang. Dalam pengertian ini, kata tersebut difahami sebagai suatu batu uji spiritual dan contoh sempurna bagi kesusasteraan. Sebagai suatu judul, Al Quran merujuk pada wahyu (tanzíl) yang "diturunkan" (unzila) oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad selama hampir 23 tahun.(2) Dalam keadaan yang lebih universal, ia adalah ekspresi diri umm al-kitâb atau paradigma komunikasi ilahiah (QS. Al-Ra'd/13 :39). Bagi seluruh muslim, Al Quran merupakan kitab suci paling sempurna.

2.2. Al Quran: Sejarah, Isi, dan Pengumpulannya
Sebagai wahyu (QS. 4:163), surah-surah dan ayat-ayat Al Quran diturunkan oleh Allah SWT secara bertahap kepada Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun. Hikmah diturunkannya Al Quran secara berangsur-angsur ini antara lain adalah (1) untuk meneguhkan hati Rasullullah SAW dengan cara mengingatkannya terus menerus, (2) lebih mudah dimengerti dan diamalkan oleh pengikut-pengikut Nabi SAW, (3) diantara ayat-ayat itu ada yang merupakan jawaban atau penjelasan dari suatu pertanyaan atau masalah yang diajukan kepada nabi SAW sesuai dengan keperluan, (4) hukum-hukum Allah SWT yang terkandung didalamnya mudah diterapkan secara bertahap, dan (5) memudahkan penghafalan.

Ayat-ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah al-'Alaq. Ayat-ayat tersebut turun ketika Nabi SAW sedang tahannuts (bermeditasi) di dalam sebuah gua yang terletak digunung Hirâ, dekat kota Makkah. Peristiwa itu terjadi pada malam 17 Ramadan (6 Agustus 610). Ketika itu Nabi SAW berusia 40 tahun. Pada malam itu Nabi SAW melihat malaikat Jibril datang kepadanya sambil berkata: Iqra' (bacalah). Lalu beliau menjawab, "Ma ana bi qari" (saya tidak dapat membaca). Mendengar jawaban Nabi SAW, malaikat Jibril lalu memeluk tubuh Rasulullah dengan sangat erat, kemudian melepaskan pelukannya serta kembali menyuruh dia membaca. Namun setelah dilakukan sampai tiga kali dan Nabi SAW tetap saja memberikan jawaban yang sama, malaikat itu kemudian membacakan wahyu yang dibawanya, yakni membaca lima ayat pertama Surah Al- 'Alaq (96), yang secara tradisional dianggap sebagai wahyu pertama Al Quran.(3)

Ketika menerima wahyu pertama di gua Hirâ', Muhammad merasa malaikat Jibril memeluk dan menekannya begitu kuat. Ia sangat ketakutan melihat Jibril, lalu lari pulang ke rumah serta meminta sang istri untuk menyelimutinya. Bagi dia, menerima wahyu merupakan pengalaman yang sangat berat, yang dapat membuat dia bermandi keringat meskipun udara amat dingin. Pada saat dia berada dalam ketakutan yang mencekam, wahyu pun diturunkan, menyuruh Muhammad untuk "bangkit dan mengingatkan" (QS. Al-Muddatstsir/74:1-2). Setiap kali menerima wahyu sepertinya nabi dipindahkan ke alam lain. Ia menerimanya tidak dengan indera biasa. Hal itu terbukti dalam diri para sahabatnya yang ada didekatnya tidak melihat dan mendengar apa-apa. Sahabatnya menceritakan bahwa pernah ketika Muhammad duduk menerima wahyu, ia merasa pahanya yang ada dibawah paha Nabi SAW, remuk seakan-akan terhimpit oleh barang berat.(4)

Setelah peristiwa itu, tidak lama kemudian turunlah wahyu kedua, yaitu surah al-Muddassir ayat 1-10. Isinya ialah menyeru Nabi SAW agar menyampaikan dakwah Islam kepada manusia.(5) Setelah itu, penurunan wahyu terhenti beberapa tahun.(6) Nabi SAW merasa sangat gelisah dan sedih. Ia menjadi tenang setelah turun Surah ad-Duha. Sesudah itu ayat-ayat lain diturunkan sacara bertahap menurut kejadian-kejadian yang memerlukannya dan tidak pernah lagi terputus sampai wahyu yang terakhir.

Pada umumnya ulama menetapkan bahwa hari penghabisan turunnya Al Quran ialah hari Jumaat, 9 Zulhijah 10 atau 16 Maret 632. Beberapa bulan sesudah ayat terakhir (7) (QS . 5:3) ini turun, Rasulullah wafat (8 Juni 632). Ulama sepakat bahwa wahyu terakhir diturunkan ketika Nabi SAW wukuf di padang Arafah untuk menunaikan ibadah haji yang kemudian terkenal dengan nama haji wadak (haji penghabisan).

Pada umumnya ulama berpendapat bahwa Al Quran diturunkan dari Lauh Mahfuz (catatan mengenai ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT) ke dunia. Namun dari kalangan mereka terdapat perbedaan pendapat tentang cara menurunkannya dari Lauh Mahfuz. Pendapat pertama dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani yang mengatakan bahwa Al Quran itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam Al-qadar (kemuliaan) lengkap dari ayat pertama sampai terakhir. Ayat-ayat ini kemudian diwahyukan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah selama hampir 23 tahun.

Pendapat kedua dikemukakan oleh Fakhruddin ar-Razi. Ia berpendapat bahwa Al Quran diturunkan ke dunia dalam 23 kali malam al-qadar . Ayat-ayat yang diturunkan dalam setiap malam al-qadar ialah ayat-ayat yang hendak diturunkan pada tahun itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi SAW.
Pendapat ketiga dari asy-Sya'bi (tokoh tradisionalisme) yang mengatakan bahwa Al Quran diturunkan hanya bagian permulaannya saja pada malam al-qadar. Sedangkan bagian lainnya diturunkan sesudah itu secara bertahap dalam berbagai waktu. Menurut para ulama, pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat.
Al-Qur 'an diturunkan kepada Nabi SAW melalui berbagai cara, yaitu:

Malaikat Jibril "memasukkan" wahyu itu ke dalam hati Rasulullah tanpa memperlihatkan wujudnya. Ia secara tiba-tiba merasakan wahyu itu telah berada di dalam hatinya. Nabi SAW mengatakan hal ini: "Rohulkudus mewahyukan ke dalam kalbuku".
Malaikat Jibril menampakkan dirinya kepada Muhammad sebagai seorang laki-laki dan mengucapkan kata-kata dihadapannya, sehingga dia cepat mengetahui dan menghafal ayat-ayat yang disampaikannya itu.
Wahyu itu turun kepada Nabi SAW seperti bunyi gemerincing lonceng.(8) Cara ini dirasakan oleh Rasulullah sebagai yang paling berat sehingga dia mencucurkan keringat, meskipun wahyu itu turun di musim yang sangat dingin. Apabila Nabi SAW sedang mengendarai unta, maka ketika itu juga untanya terpaksa berhenti dan duduk karena merasa amat berat.
Malaikat Jibril menyampaikan wahyu dengan menampakkan wujudnya yang asli (surah an - Najm ayat 13 dan 14)
Setiap kali menerima wahyu, Nabi SAW lalu menghafalkannya (QS. 75:16-19). Hafalan tersebut diawasi atau disemak oleh malaikat Jibril. Selain itu, Rasulullah juga membacakannya di hadapan para sahabat karena ia memang diperintahkan untuk mengajarkan Al Quran kepada mereka (QS. 16:44). Di samping menyuruh para sahabat menghafalkan ayat-ayat yang diajarkan, Nabi SAW juga memerintahkan mereka yang pandai menulis untuk menuliskannya di atas pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu, dan kepingan-kepingan tulang. Sahabat yang pandai menulis sangat berhati-hati dalam menuliskan ayat-ayat itu. Hal itu didorong oleh keyakinan mereka bahwa Al Quran adalah firman Allah SWT yang harus dijadikan pedoman hidup, sehingga perlu dijaga dengan baik. Ketika di Madinah, Rasulullah memiliki beberapa juru tulis, diantaranya yang terkenal ialah Zaid bin Sabit.

Masa turunnya Al Quran dibagi ke dalam dua periode. Pertama, periode Makkah, yaitu masa Nabi SAW bermukim di Makkah (610-622), mulai dari turunnya wahyu pertama sampai beliau melakukan hijrah ke Madinah. Masa tersebut disebut juga periode sebelum hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan selama periode pertama ini dinamakan ayat-ayat Makkiyyah, yang berjumlah 4.726 ayat dan meliputi 89 surah. Ciri-ciri ayat-ayat Makkiyyah antara lain pendek-pendek, dimulai dengan perkataan ya ayyuha an-nas (wahai manusia), kebanyakan mengandung pembahasan masalah tauhid, iman kepada Allah SWT, hal ihwal surga dan neraka, serta berbagai masalah yang menyangkut kehidupan ukhrawi (akhirat).

Kedua periode madinah, yakni masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah (622-632). Masa ini disebut juga periode hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan dalam periode ini disebut ayat-ayat Madaniyyah yang berjumlah 1.510 ayat dan mencakup 25 surah. Adapun ciri-ciri ayat-ayatnya adalah panjang-panjang (tiwal), diawali dengan perkataan ya ayyuha allazina amanu (wahai orang-orang beriman/percaya), kebanyakan berisi hukum-hukum yang jelas, dan banyak membicarakan orang yang berhijrah (kaum Muhajirin), kaum Ansar dan kaum munafik serta ahli kitab.

2.2.2. Isi Al Quran
Al Quran mempunyai 114 surah yang tidak sama panjang dan pendeknya. Surah terpendek terdiri atas 3 ayat dan yang terpanjang terdiri atas 286 ayat. Semua surah, kecuali surah yang ke-9 (at-Taubah), dimulai dengan kalimat Bismi Allah ar-Rahman ar-Rahim (dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Ada perbedaan mengenai jumlah ayat ini.(9)

Untuk memudahkan pembacaan dan penghafalan, para ulama membagi Al Quran ke dalam 30 Juz (bahagian) yang sama panjang dan dalam 60 Hizb (nama hizb ditulis di tepinya). Setiap Hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub' (seperempat), an-nisf (seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al Quran dibagi pula ke dalam 554 rubu' (bagian yang terdiri atas beberapa ayat). Setiap satu rubu' ditandai dengan huruf 'ain di sebelah pinggirnya. Surah yang panjang berisi beberapa rubu', sedangkan surah yang pendek hanya berisi satu rubu'. Tanda pertengahan Al Quran (nisf Al Quran) terdapat pada surah al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf (hendaklah ia berlaku lemah lembut).

Dalam Al Quran terhimpun hasil Kitab Suci yang sudah ada sebelumnya, malahan juga hasil segala ilmu.(10) Ia merupakan " (sebuah kitab) yang menjelaskan segala sesuatu" (QS. 12:111). Pada dasarnya Al Quran berisi akidah dan syariah. Akidah dirumuskan dengan kata "iman", sedangkan syariah "amal saleh" (bdk. QS. 16:97). Keduanya dapat dibezakan namun tak dapat dipisahkan. Seorang yang beriman tanpa menjalankan syariah adalah fasik. Demikian pula sebaliknya, bersyariah tetapi tidak berakidah adalah munafik.(11)

2.2.3. Pengumpulan Al Quran
Pengumpulan Al Quran telah dimulakan sejak zaman Rasulullah SAW, bahkan telah dimulai sejak masa-masa awal turunnya Al Quran. Sebagaimana diketahui, Al Quran diwahyukan secara beransur-ansur.
Setelah ayat-ayat diturunkan, Nabi SAW memberi nama surah tersebut untuk membezakannya dari surah yang lain. Rasulullah juga memberi petunjuk tentang urutan penempatan surah di dalam Al Quran. Penyusunan ayat-ayat dan penempatannya di dalam susunan Al Quran juga dilakukan berdasarkan petunjuk Nabi SAW. Cara pengumpulan yang dilakukan pada masa itu berlangsung sampai Al Quran sempurna diturunkan dalam waktu kurang lebih 23 tahun.

Untuk menjaga kemurnian Al Quran, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits Bukhari dan Muslim, setiap tahun Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk menyemak bacaannya. Bahkan pada tahun wafat Rasulullah, Malaikat Jibril datang dua kali. Ia menyemak bacaan Rasulullah dengan cara menyuruhnya mengulangi hafazan ayat-ayat yang telah diwahyukan. Kemudian Nabi sendiri juga melakukan hal sama, yaitu menyemak bacaan sahabat-sahabatnya sehingga terpeliharalah Al Quran dari kesalahan dan kekeliruan.

Pada masa Rasulullah SAW, sudah banyak sahabat (baik dari kalangan Muhajirin maupun Ansar) yang menghafal beberapa puluh surah. Bahkan banyak juga yang telah menghafal setengah Al Quran dan seluruh isinya dengan lancar.(12) Di samping itu terdapat sahabat-sahabat yang menjadi juru tulis wahyu.(13) Ayat-ayat suci Al Quran yang telah ditulis oleh mereka itu disimpan di rumah Rasulullah SAW. Walaupun demikian, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam suatu mushaf (sebuah buku yang terjilid seperti yang dijumpai sekarang), melainkan masih berserakan.

Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar dipilih menjadi khalifah, tulisan-tulisan Al Quran yang berserakan pada pelepah-pelepah kurma, tulang-tulang binatang, dan batu-batu tetap disimpan di rumah Nabi SAW sampai terjadinya perang Yamamah yang menyebabkan 70 sahabat yang terdiri daripada penghafal Al Quran (huffaz) tekorban syahid. Karena banyak yang gugur sebagai syuhada, maka timbul kekhawatiran akan kejadian seperti ini berulang dalam peperang lain. Lebih jauh lagi, hal itu dapat mengakibat kehilangan al-Quran . Oleh karena itu, Umar bin Khattab menyarankan supaya al-Quran itu dikumpul ke dalam satu mushaf. Abu Bakar merasa berat untuk menerima tugas itu. Namun pada akhirnya ia dapat menerimanya demi memelihara kesucian Al Quran. Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit untuk memimpin tugas kodifikasi ini dengan dibantu oleh Ubay bin Ka'b, Ali bin Abu Talib, Usman bin Affan, dan beberapa sahabat qurra' (para pembaca) lainnya. Di dalam usaha mengumpulkan al-Quran, Zaid bin Sabit berpegang pada tulisan-tulisan yang tersimpan di rumah Rasulullah, hafalan-hafalan dari sahabat, dan naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabat. Semuanya itu dikumpulkan dan ditulis di atas lembaran-lembaran kertas yang disebut suhuf-suhuf, kemudian disusun menjadi satu mushaf, dan akhirnya diserahkan kepada Abu Bakar.

Sesudah Abu bakar wafat, mushaf itu berada dalam pengawasan Umar. Setelah Umar wafat, mushaf ini disimpan di rumah Hafsah.(14) Pada masa khalifah Usman bin Affan, timbul perselisihan masalah qiraat (wajah-wajah lain dalam bacaan Al Quran). Salah satu usulan Huzaifah bin Yaman untuk mengatasi perselisihan itu ialah perlunya Khalifah Othman bin Affan menetapkan aturan penyeragaman bacaan Al Quran standard yang kelak akan dijadikan pegangan bagi seluruh umat Islam di berbagai wilayah. Usulan itu diterima, lalu dibentuklah panitia. Sesudah selesai, Usman mengembalikan mushaf yang telah disalin itu kepada Hafsah. Penyalinan Al Quran dengan dialek yang seragam di masa Usman itulah yang disebut Mushaf 'Uthmani. Semuanya berjumlah 5 buah. Satu mushaf disimpan di Madinah, yang kemudian dikenal dengan Mushaf al-Imam. Empat lainnya dikirim ke Makkah, Suriah, Basra, dan Kufah untuk disalin serta diperbanyakkan.

Usaha mengumpul Al Quran di zaman saidina Uthman membawa beberapa hikmah, antara lain (1) menyatukan umat Islam yang berselisih dalam masalah qiraat , (2) meyeragamkan dialek bacaan Al Quran, (3) menyatukan tertib susunan surah-surah menurut tertib uruta seperti dalam mushaf-mushaf yang dijumpai sekarang.
Dalam perkembangan selanjutnya, mushaf yang dikirimkan Uthman ke berbagai negara Islam itu mendapat sambutan positif. Mereka menyalin dan memperbanyakkan mushaf itu dengan berhati-hati. Diriwayatkan bahawa Abdul Aziz bin Marwan (gabenor Mesir) setelah menulis mushaf-nya, menyuruh orang lain untuk memeriksanya sambil menjanjikan bahawa siapapun yang dapat menemukan suatu kesalahan dalam tulisannya akan diberi hadiah berupa seekor kuda dan duit sejumlah tiga puluh dinar. Kewaspadaan kaum muslimin terhadap setiap penulisan Al Quran ini tetap berlanjut dari masa ke masa. Penyalinan Mushaf 'Uthmani juga bertambah pesat dilakukan oleh kaum muslimin.(15)

2.3. Al Quran: Himpunan Wahyu Tertinggi
Wahyu berasal dari kata wahy, dari kata kerja bahasa Arab, waha, yang berarti meletakkan dalam pikiran, kadang-kadang difahami sebagai " inspirasi ". Al Quran menggunakan istilah ini tidak hanya untuk inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia, tetapi juga untuk komunikasi spiritual di antara mahkluk-mahkluk yang lain. Namun, wahyu merujuk secara spesifik kepada wahy, yakni inspirasi ilahiah yang diberikan kepada manusia terpilih, yang dikenal sebagai nabi-nabi, dengan maksud sebagai petunjuk.(16) Proses pewahyuan dimulai dari Adam (manusia dan nabi pertama) dan berlanjut sepanjang sejarah manusia hingga pesan wahyu akhirnya dipelihara secara utuh dalam bentuk Al Quran.

Kaum muslim menerima tidak hanya Al Quran, tetapi juga Taurat nabi Musa, Mazmur atau Zabur nabi Daud, dan Injil nabi Isa sebagai jalinan dalam rantai wahyu ilahiah. Namun untuk memahami wahyu diperlukan pertimbangan yang hati-hati terhadap kekhususan konteks dan keuniversalan peringatan bagi umat manusia. Sejak wahyu diturunkan untuk membimbing urusan-urusan manusia, pemahaman intelektual serta implementasi praktik melalui contoh keagamaan juga diperlukankan. Dengan demikian, nabi-nabi adalah pembawa peringatan dan sekaligus sebagai model.

Para pemikir muslim mutakhir telah mengekspresikan keperluan dan interpretasi, wahyu Al Quran dari metode literalisme sempit dan ayat demi ayat, yang bersifat atomistik, sebagaimana tafsir yang awal. Hal ini membawa kepada tafsir dunia yang mengalami perubahan cepat dan radikal. Tafsiran semacam itu sesuai dengan opini tradisional bahwa wahyu adalah khazanah pengetahuan khusus, yang menghubungkan Ilahi Sang Pencipta dengan manusia yang memiliki kehendak bebas dan keperluan.

Pada sepanjang sejarah Muslim telah berlangsung perdebatan seru mengenai nilai-relatif pengetahuan yang diterima dari wahyu ilahiah serta pengetahuan yang didapat melalui penalaran independen. Beberapa filosof berpendapat bahwa akal manusia mencukupi untuk membimbing urusan-urusannya. Untuk itu, manusia hanya perlu berpaling kepada wahyu dalam hal-hal tertentu. Namun, apabila Al Quran adalah wahyu dari kehendak Tuhan, ia seharusnya tidak tertantang dan tidak dapat disamai.(17)

Kaum Muslim percaya bahwa Al Quran adalah himpunan wahyu tertinggi (18) dari setiap kata demi kata. Di dalam Al Quran itu sendiri dinyatakan: "Al Quran adalah wahyu, diturunkan oleh Kami ……Kami turunkan dalam bahasa Arab……pada orang Arab, jelas dan tepat……Bila Kami membacanya, Engkau (Muhammad) harus mengikutinya……Jangan berupaya membawa wahyu kepada dirimu sendiri……Seandainya Nabi menisbahkan kepada Kami apa yang tidak Kami wahyukan, maka kami akan merenggutnya dengan kekuatan dan memotong urat nadi jantungnya" (QS. 4:104; 26:195; 12:2; 20:113; 3:7; 75:16-17; 69:45-46).

Kaum Muslim menerima wahyu dengan sepenuh hati. Mereka memandang Al Quran suci dari Allah, baik kandungan maknanya maupun bahasa dan bentuknya. Bukti bahwa Al Quran adalah firman Tuhan berada pada Al Quran sendiri, yakni antara lain terletak pada keindahan teksnya yang tidak dapat ditiru dan tidak tertandingi sehingga merupakan mukjizat. Karena itu, Al Quran bukan karya manusia, melainkan karya Tuhan. Watak Al Quran yang demikian ini disebut I'jâz.

2. 4. Al Quran: Wahyu progresif dan Kitab Kemanusiaan
Bertolak dari uraian di atas, timbul pertanyaan: Apakah Al Quran yang diimani sebagai wahyu ilahi dan menjadi the way of life umat Islam boleh diberi tafsir kontekstual yang sesuai dengan prinsip Al Quran sebagai wahyu progresif?

progresivitas Al Quran terbukti saat teksnya berdialog dengan konteks sejarah masa lampau, sekarang, dan ke masa depan. Sebagai teks progresif, ia tentu tidak mampu bicara sendirian dengan realitas. Dia memerlukan manusia sebagai penafsir yang bervisi progresif, sehingga Al Quran pun menjadi wahyu yang progresif. Di sisi lain, sebagai wahyu progresif, ia merekam seluruh spektrum perjuangan para nabi yang dihadapkan pada pilihan memihak yang berkuasa atau lemah. Mereka dengan tegas memihak kaum lemah. Nabi SAW dalam sebuah doanya, berkomitmen untuk hidup, tumbuh, dan mati bersama yang papa. Demikian pula Esa berjuang keras sebagai pembela kaum papa. Musa menjadi simbol otentik perlawanan terhadap arogansi kekuasaan Firaun. Pemihakan para nabi kepada kaum papa, dhuafa/lemah, dan tertindas, menjadi fakta sejarah terjadinya proses penterjemahan Al Quran secara progresif.(19) Para nabi sebelum menjadi instrumen pewahyuan progresif, juga berfungsi sebagai penafsir firman Tuhan yang menjadi progresif dan harus didialogkan dengan situasi, konteks, serta keperluanan komunikasi. Al Quran secara lebih tegas menunjukkan dan mengakarkan ke arah pembebasan kaum papa, lemah, dan tertindas dengan menunjuk teks mustadl'afnn. Teks ini amat progresif, karena kelemahan yang melekat pada mereka, menurut tinjauan Al Quran, disebabkan bukan by nature, by accident, melainkan oleh faktor-faktor luar lainnya (by design), yang dalam istilah sosiologi disebut faktor-faktor "struktural" atau dalam terminologi politik, diakibatkan oleh sistem kekuasaan yang otoriter, represif, dan tiran.

Penggunaan Al Quran dengan merujuk teks mustadl'afnn sebagai kelompok lemah, marginal, dan tertindas tersebut terlihat jelas pada teks, "dalam harta si kaya", ada bagian intrinsik bagi orang miskin (Q. S. al-Ma'arif/70:25; al-Dzariyat/51:19). Dengan demikian, Al Quran mengformasikan model keadilan distributif, agar "harta itu tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja" (Q. S. al-Hasyr/59:7). Hal ini membuktikan progresif teks Al Quran yang berdialog dengan situasi sejarah masa silam, dengan konteks kini dan masa depan saat permasalahan kemiskinan serta penindasan bermaharajalela di mana-mana. Pada saat yang sama pula, harta dan kekayaan hanya berputar di antara mereka yang kaya serta berkuasa.

Dr. Farid Esack (ahli tafsir Al Quran dari Afrika Selatan) menjadikan teks mustadl'afnn (Q. S. al-Qahash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk membebaskan kaum marginal, dhuafa, dan tertindas dari rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Teks tersebut benar-benar mempersembahkan semua penderitaan orang-orang tertindas di Afrika Selatan.(20)

Itulah salah satu contoh dimana penafsiran teks Al Quran menjadi wahyu progresif yang kemudian bisa menjadi kekuatan liberatif terhadap yang lemah, marginal, dan tertindas. Hal tersebut juga merupakan bentuk hermeneutika Al Quran yang ditafsirkan sebagai wahyu progresif yang memihak dan membebaskan kaum lemah-tertindas. Lalu, bagaimana dengan Al Quran sebagai kitab kemanusiaan?
Selama ini Al Quran, yang diwahyukan Allah di bulan suci Ramadhan, hampir selalu difahami dan dibicarakan dalam perspektif ketuhanan. Al Quran bukan sebuah kitab yang hanya berbicara tentang Tuhan, surga, syaitan, malaikat, kematian, atau akhirat saja, melainkan juga tentang sejarah dunia dan alam semesta dengan segala isinya. Semua masalah itu dibicarakan Al Quran dalam kerangka kemanusiaan dan kehidupan duniawi. Beberapa contoh berikut ini dapat memperjelas pernyataan tersebut.
Pertama, dalam terang cahaya wahyu-Nya, Al Quran memaparkan tentang sejarah suatu bangsa dan sekelompok umat manusia. Pada suatu saat, mereka tumbuh dan berkembang menjadi kelompok yang kuat dan besar, di saat lain mereka itu hancur lebur seperti ditelan sejarahnya sendiri.
Kedua, kitab Al Quran juga mengisahkan mengenai kehidupan suatu bangsa yang penuh kedamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan, berkeadilan, peka terhadap persoalan rakyat, bahkan terhadap lingkungan alam; yaitu dunia dan haiwan. Kisah tentang bagaimana bangsa dan sekelompok manusia lainnya dilanda malapetaka dan berbagai penderitaan serta bencana secara terus menerus, semuanya itu tersebar hampir di semua surat Al Quran.
Contoh ketiga, model pemimpin dan kepemimpinan juga boleh didapati dalam Al Quran. Sebuah bangsa yang besar dan kaya tetapi dipimpin oleh raja yang ditaktorr, kejam, dan zalim, dengan para penguasa yang mengambil rasuah serta kesejahteraan yang hanya dinikmati oleh segelintir elite yang berkuasa, tidak akan bertahan lama, bahkan berhadapan dengan kehancuran. Sebaliknya Al Quran juga mengisahkan suatu bangsa besar dan makmur yang dipimpin oleh raja dan para pemimpin yang adil, yang sentiasa memahami, mendengarkan keluh kesah rakyatnya, bahkan keluh kesah haiwan dan tumbuhan akibat perbuatan manusia.
Keempat, di dalam Al Quran dapat pula dibaca dan direnungkan berbagai kisah dramatis bagaimana Nabi Musa dan Nabi Yusuf yang tampil ke layar sejarah peradaban dengan posisi serta keadaan semasa yang dihadapinya. Masih banyak contoh lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Dengan contoh-contoh itu, menurut Abdul Munir Mulkhan, maka Al Quran berfungsi sebagai petnjuk bagi manusia supaya dapat membedakan jalan hidup yang terang dan gelap. Jadi, Al Quran tidak hanya memfokuskan diri pada hal-hal ilahiah, tetapi bagi memenuhi kepentingan keperluan manusia itu sendiri. Al Quran hadir sebagai suatu perkhabaran atau dzikir (peringatan) terhadap kebiasaan hidup manusia yang tidak produktif. Meskipun kitab ini mencatat nama-nama Tuhan yang terdapat dalam 1.882 ayat (hampir 30 persen dari seluruh ayat Al Quran yang berjumlah lebih dari 6000 ayat), namun nama-nama tersebut berkaitan dengan informasi tentang berbagai persoalan di sekitar diri manusia dan alam. Dengan demikian, jelas sekali bahwa Al Quran selain merupakan wahyu yang progresif, juga merupakan kitab kemanusiaan.

3. Kesimpulan

Bila dihubungkan dengan wahyu-wahyu sebelumnya, maka wahyu Islam membezakan dirinya sebagai wahyu yang berkenan dengan norma-norma agama dan etika, serta memusatkan perhatian kepada prinsip. Wahyu Islam menyerahkan kepada manusia tugas menterjemahkannya ke dalam bentuk petunjuk dan perintah untuk kehidupan sehari-hari. Petunjuk ini disebut sebagai syariah (hukum) atau minhâj (program). Keajaiban Al Quran menurut banyak orang muslim saat ini, bukanlah dari cara wahyu itu disampaikan kepada Muhammad di gua Hirâ' - di Mekkah, dan kelak di Madinah, tetapi terletak pada kemampuannya secara terus menerus dalam memberi suatu kepercayaan pada makna serta nilai kehidupan. Agama Islam pastilah terus menerus kreatif dan inovatif dalam penerapan visi dan misi di tengah dunia yang terus berubah: pada setiap generasi, Islam merespon modernisasi sebagaimana agama-agama lain

No comments: